Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat













Tugas Matakuliah Pendidikan Agama Islam
H. Zainul Fanani M.Ag


MASYARAKAT MADANI DAN KESEJAHTERAAN UMAT

Oleh:
Ketua:
R. Yuni Ristanti S 121810301039

Anggota:
Mickel Andy Ferrika  120110201079
Abdul Fajar 121910201011
Anita Rahman 121810301027
Indrianto Yoggi W 120810301158
Moh. Riyan Basofi 122110101172
Elinda Prastyani 112110204080




UNIVERSITAS JEMBER
2012




















BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
Adanya beberapa kasus penindasan rakyat yang dilakukan oleh penguasa merupakan realitas yang sering kita lihat dan dengar dalam pemberitaan pers, baik melalui media cetak maupun elektronik yang menimbulkan dampak yang besar bagi masyarakat. Bagaimana masyarakat dapat menanggapi masyarakat tersebut adalah hal yang perlu dikaji bersama. Untuk meninjau hal tersebut Islam memiliki ajaran yang konkrit untuk menciptakan kondisi masyarakat yang islami, karena islam bukan hanya sekedar agama yang memiliki konsep ajaran spiritualitas atau ubudiyah semata.
Kemungkinan akan adanya kekuatan masyrakat sebagai bagian dari komunitas sebuah negara akan mengantarkan pada sebuah konsep masyarakat madani. Masyarakat madani merupakan konsep yang mengalami proses yang sangat panjang. Masyarakat madani muncul bersamaan dengan adanya proses modernisasi, terutama pada saat transformasi dari masyarakat feudal dan menuju masyarakat modern. Dalam mendefinisikan masyarakat madani ini sangat bergantung pada kondisi sosio-kultural suatu bangsa. Dalam islam masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang taat pada aturan Allah SWT, hidup dengan damai dan tentram, dan yang tercukupi kebutuhan hidupnya.
1.2 Rumusan masalah
     Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu :
1.                  Apakah pengertian konsep masyarakat madani?
2.                  Bagaimana sejarah dan perkembangan masyarakat madani?
3.                  Bagaimana karakteristik masyarakat madani?
4.                  Bagaimana peran umat islam dalam mewujudkan masyarakat madani?
5.                  Bagaimana sistem ekonomi islam dan kesejahteraan umat?
6.                  Bagaimana etos kerja islam?
1.3 Tujuan
      Adapun tujuan pembuatan makalah ini yaitu:
1.                  Untuk memahami pengertian konsep masyarakat madani.
2.                  Untuk memahami sejarah dan perkembangan masyarakat madani.
3.                  Untuk memahami karakteristik masyarakat madani.
4.                  Untuk memahami peran umat islam dalam mewujudkan masyarakat madani.
5.                  Untuk memahami sistem ekonomi islam dan kesejahteraan umat.
6.                  Untuk memahami etos kerja islam.












BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Konsep Masyarakat Madani
MADANI satu kata yang indah. Punya arti yang dalam. Kadang kala banyak juga yang menyalah artikannya. Apa itu sebenarnya madani. Bila diambil dari sisi pendekatan letterlijk maka madani berasal dari kata  m u d u n   arti sederhananya  m a j u  atau dipakai juga dengan kata  m o d e r n. Tetapi figurlijknya madani mengandung kata maddana al-madaina (مَدَّنَ المَدَاِئنَ) artinya, banaa-ha ( بَنَاهَا ) yakni membangun atau hadhdhara (حَضَّر ) yaitu memperadabkan dan tamaddana ( تَمَدَّنَ ) maknanya menjadi beradab yang nampak dalam kehidupan masyarakatnya berilmu (periksa, rasio), memiliki rasa (emosi) secara individu maupun secara kelompok serta memiliki kemandirian (kedaulatan) dalam tata ruang dan peraturan-peraturan yang saling berkaitan, kemudian taat asas pada kesepakatan (hukum) yang telah ditetapkan dan diterima untuk kemashalahatan bersama.  
Masyarakat  madani ( الحَضْرِيُّ = al hadhariyyu) adalah masyarakat berbudaya dan al-madaniyyah (tamaddun) yang maju, modern, berakhlak dan memiliki peradaban, melaksanakan nilai - nilai agama (etika religi) atau mengamalkan ajaran Islam (syarak) dengan benar. Nilai - nilai agama Islam boleh saja tampak pada umat yang tidak atau belum menyatakan dirinya Islam, akan tetapi telah mengamalkan nilai Islam itu. Sesunguhnya Agama (Islam) tidak dibatasi ruang-ruang masjid, langgar, pesantren, majlis ta’lim semata.
Pengamalan nilai - nilai agama sebenarnya menata gerak kehidupan riil. Memberi acuan pelaksana tatanan politik pemerintahan, sosial ekonomi, seni budaya, hak asasi manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi. Penerapan nilai etika religi mewujudkan  masyarakat yang hidup senang dan makmur (تَنَعَّمَ = tana’ama) dengan aturan  (قَانُوْنٌ مَدَنِيٌّ = qanun madaniy) yang didalamnya terlindungi hak-hak privacy, perdata, ulayat dan hak-hak masyarakat lainnya.
Masyarakat madani adalah masyarakat kuat mengamalkan nilai agama (etika reliji). Seperti dalam tatanan masyarakat Madinah al Munawwarah dimasa hayat Nabi Muhammad SAW. Sejahtera dalam keberagaman pluralistis ditengah bermacam anutan paham kebiasaan. Tetapi satu dalam pimpinan. Kekuatannya ada pada nilai dinul Islam. Mampu melahirkan masyarakat proaktif menghadapi perubahan. Bersatu di dalam kesaudaraan karena terdidik rohaninya. Pendidikan rohani merangkum aspek pembangunan sumber daya manusia dengan pengukuhan nilai ibadah dan akhlak dalam diri umat melalui solat, zikir. Pada akhirnya pendidikan watak atau domain ruhani ini mencakup aspek treatment. Rawatan dan pengawalan melalui taubat, tazkirah, tarbiyah, tau’iyah. Ditopang dua manazil atau sifat penting, yaitu Rabbaniah dan Siddiqiah.
Sifat Rabbaniah ditegakkan dengan benar diatas landasan pengenalan (makrifat) dan pengabdian (`ubudiah) kepada Allah melalui ilmu pengetahuan, pengajaran, nasihat, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Siddiqiah mencakup enam jenis kejujuran (al-sidq):
1. kejujuran lidah,
2. kejujuran niat dan kemauan (sifat ikhlas),
3. kejujuran azam,
4. kejujuran al-wafa’ (jujur dengan apa yang diucapkan dan dijanjikan),
 5. kejujuran bekerja (prestasi karya), dan
6. kejujuran mengamalkan ajaran agama (maqamat al-din).
Kehidupan Madani terlihat pada kehidupan maju yang luas pemahaman (tashawwur) sehingga menjadi sumber pendorong kegiatan di bidang ekonomi yang lebih banyak bertumpu kepada keperluan jasmani (material needs). Spiritnya melahirkan pemikiran konstruktif (amar makruf) dan meninggalkan pemikiran destruktif (nahyun ‘anil munkar) melalui pembentukan tata cara hidup yang diajarkan agama Islam. Mengembangkan masyarakat Madani dimulai dari membangun domain kemanusiaan atau domain ruhiah melalui pendidikan rohani yang merangkum aspek preventif. Menjaga umat dari ketersesatan aqidah. Memelihara rakyat dari ketidakseimbangan emosional dan mental. Agar umat terhindar dari melakukan perbuatan haram, durjana dan kezaliman. Peningkatan mutu masyarakat dengan basis ilmu pengetahuan, basis budaya dan agama.
Moralitas Masyarakat Madani, Sikap hati-hati sangat dituntut untuk meraih keberhasilan. Action planning di setiap lini adalah keterpaduan, kebersamaan, kesepakatan, dan keteguhan. Langkah awalnya menghidupkan musyawarah. Allah menghendaki kelestarian Agama secara mudah, luwes, elastis, tidak beku dan tidak bersitegang. Memupuk sikap taawun saling membantu dengan keyakinan bahwa Allah Yang Maha Rahman selalu membukakan pintu berkah dari langit dan bumi.
Keterpaduan masyarakat dan pemerintah menjadi kekuatan ampuh membangun kepercayaan rakyat banyak. Inilah inti reformasi yang dituju di abad baru ini. Tingkat persaingan akan mampu dimenangkan “kepercayaan” .  Pengikat spiritnya adalah sikap Cinta kepada Bangsa dan Negara yang direkat oleh pengalaman sejarah. Salah menerjemahkan suatu informasi, berpengaruh bagi pengambilan keputusan. Sikap tergesa-gesa akan berakibat jauh bagi keselamatan orang banyak. Masyarakat majemuk dapat dibina dengan kekuatan etika reliji.
Peran serta masyarakat digerakkan melalui  musyawarah dan mufakat. Kekuatan moral yang dimiliki, ialah menanamkan “nawaitu” dalam diri masing-masing mengamalkan ajaran agama dengan benar. Sebab, manusia tanpa agama hakikinya bukan manusia sempurna. Tuntunan agama tampak pada adanya akhlak dan ibadah. Akhlak melingkupi semua perilaku pada seluruh tingkat kehidupan. Nyata dalam contoh yang ditinggalkan Rasulullah.
Ketika kehidupan manusia kian bertambah modern dan peralatan teknologi semakin canggih, makin bertambah banyak masalah hati dan kejiwaan manusia yang tampil kepermukaan. Tidak segera mudah dapat diselesaikan. Solsusinya hanya mendekatkan diri kepada Allah SWT semata. Maka tuntutan kedepan harus diawasi agar umat lahir dengan iman dalam ikatan budaya (tamaddun). Rahasia keberhasilan adalah “tidak terburu-buru” dalam bertindak. Selalu ada husnu-dzan (sangka baik) antara rakyat dan pemimpinnya. Kekuasaan akan berhasil jika menyentuh hati nurani rakyat banyak, sebelum kekuasaan itu menjejak bumi. Ukurannya adalah adil dan takarannya adalah  kemashlahatan umat banyak. Kemasannya adalah jujur secara transparan.
Umat perlu dihidupkan jiwanya. Menjadi satu umat yang mempunyai falsafah dan tujuan hidup (wijhah) yang nyata. Memiliki identitas (shibgah) dengan corak keperibadian terang (transparan). Rela berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan.  Masyarakat Madani yang dituntut oleh “syari’at” Islam menjadi satu aspek dari Sosial Reform yang memerlukan pengorganisasian (nidzam). Masyarakat Madani mesti mampu menangkap tanda‑tanda zaman  perubahan sosial, politik dan ekonomi – pada setiap saat dan tempat dengan optimisme besar. Sikap apatis adalah selemah‑lemah iman (adh’aful iman). Sikap diam (apatis) dalam kehidupan hanya dapat dihilangkan dengan bekerja sama melalui tiga cara hidup , yakni bantu dirimu sendiri (self help), bantu orang lain (self less help), dan saling membantu dalam kehidupan ini (mutual help).
Ketiga konsep hidup ini mengajarkan untuk menjauhi ketergantungan kepada pihak lain, artinya mandiri. Konsep madaniyah tampak  utama didalam pembentukan watak (character building) anak bangsa. Tentu saja melalui jalur pendidikan. Maka reformasi terhadap pengelolaan keperluan masyarakat atau birokrasi mesti meniru kehidupan lebah, yang kuat persaudaraannya, kokoh organisasinya, berinduk dengan baik, terbang bersama membina sarang, dan baik hasil usahanya serta dapat dinikmati oleh lingkungannya.[1]

2.2. Sejarah dan Perkembangan Masyarakat Madani
Ada dua masyarakat madani dalam sejarah Islam yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu:
1) Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman. Keadaan masyarakat saba’ mendiami negri yang baik, subur, dan nyaman. Di tempat itu terdapat kebun dengan tanamannya yang subur, yang menyediakan rizki, memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Negeri yang indah itu merupakan wujud dai kasih sayang Allah yang disediakan bagi masyarakat tersebut. Allah juga maha pengampun apabila terjadi kealpaan pada masyarakat tersebut. Karena itu, Allah memerintahkan masyarakat Saba’ untuk bersyukur kepada Allah yang telah menyediakan kebutuhan hidup mereka. Kisah keadaan masyarakat Saba’ ini sangat populer dengan ungkapan Al-Qur’an Baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafuur[2]
2) Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya[3].
Untuk lebih memahami pengertian masyarakat madani kita akan membahas tentang sejarah dan perkembangan masyarakat madani dalam sejarah masyarakat Eropa Barat, wacana masyarakat madani merupakan konsep yang bersumber dari pergolakan politik dan sejarah masyarakat Eropa Barat yang mengalami perubahan pola kehidupan Feodal menuju kehidupan masyarakat industri kapitalis. Perkembangan wacana masyarakat madani dapat diurutkan dari Cirero sampai pada Antonio Gramsci dan de’Tocquiville. Bahkan menurut Manfred Ridel, Cohen, dan Arato serta M. Dawam Rahardjo, wacana masyarakat madani sudah ada pada masa Aristoteles.
Pada masa Aristoteles (384-522 SM) masyarakat madani dipahami sebagai sistem kenegaraan yang disebut koinonia pilitik, yakni sebuah komunitas politik tempat masyarakat dapat terlibat langsung dalam percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Sebuah sistem negara yang digunakan menggambarkan masyarakat politis dan etis, dimana warganya berkedudukan sama di hadapan hukum. Hukum sendiri di anggap etos, yaitu seperangkat nilai yang disepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur politik tetapi juga sebagai substansi dasar kebijakan dari berbagai bentuk interaksi di antara warga negara.
Marcus tullius Cicero (106-43 SM) juga mengikuti konsepsi tentang masyarakat madani yang di kemukakan oleh Aristoteles dengan istilah societies civilies, yaitu sebuah kelompok yang mendominasi kelompok lain. Cirero  lebih menekankan pada konsep Negara kota. Untuk menggambarkan kerajaan, kota, dan korperasi lainnya.
Thomas Hobes (1588-1679 M) dan Jhon Locke (1632-1704) mengembangkan konsep masyarakat madani yang menitik beratkan pada sistem kenegaraan ini. Menurut Hobes, masyarakat madani harus memiliki kekuasaan mutlak, agar mampu mengontrol dan mengawasi sepenuhnya pola-pola perilaku politik setiap warga negara. Sementara menurut Jhon Locke, kehadiran masyarakat madani untuk melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara. Konsekuensinya adalah msyarakat madani tidak boleh absolute dan harus membatasi perannya pada wilayah yang tidak bisa dikelola masyarakat dan memberikan secara adil dan proposional.
Adam Ferguson tahun 1767 wacana masyarakat madani di kembangkan dengan mengambil konteks sosio-kultural (sosial dan budaya masyarakat) dan politik Skotlandia. Freguson menekankan masyarakat madani pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan konsep ini, Ferguson bertujuan agar publik memiliki semangat untuk menghalangi munculnya despotisme, karena dalam masyarakat madani itulah solidaritas social muncul dan di iringi oleh sentiment moral dan sikap saling menyayangi serta saling mempercayai antar warganegara secara ilmiah.
Thomas Paine (1792) memiliki wacana yang berbeda dengan sebelumnya. Ia menggunakan istilah masyarakat madani sebagai sekelompok masyarakat yang memilik diametral dengan negara, bahkan di anggapnya sebagai anti tesis dari negara. Masyarakat madani menurut Paine adalah ruang dimana warga negara dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan. Oleh karenanya, maka masyrakat madani harus lebih kuat dan mampu mengontrol Negara demi kebutuhannya.
G. W. F Hegel (1770-1831 M), Karl Mark 1818-1883) dan Antonio Gramsci (1891-1837 M). wacana masyarakat madani yang dikembangkan oleh ketiga tokoh ini menekankan pada masyarakat madani sebagai elemen ideologi kelas dominan.  Pemahaman ini merupakan reaksi dari pemahaman Paine (masyarakat madani adalah bagian terpisah dari negara) menurut Hegel masyarakat madani merupakan bagian yang merubah dari negara. Hegel mengatakan bahwa struktur sosial terbagi atas 3 wujud, yaitu keluarga, masyarakat madani, dan negara. Keluarga adalah ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan keharmonisan.
Masyarakat madani siasat politik berbagai kepentingan pribadi dan golongan terutama kepentingan ekonomi. Sedangkan negara adalah perwakilan ide universal yang bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan berhak penuh untuk intervensi terhadap masyarakat madani. Selain itu masyarakat madani pada kenyataannya tidak mampu mengatasi kelemahannya sendiri serta tidak mampu mempertahankan keberadaannya bila tanpa keteraturan politik dan ketertundukan pada institusi yang lebih tinggi, yaitu negara. Oleh karena itu, negara dan masyarakat madani sesuatu yang saling memperkuat satu sama lain.
Sedangkan Karl Marx memahami masyarakat madani sebagai masyarakat borjuis dalam konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaannya merupakan kendala bagi pembebasan manusia dari penindasan. Karenanya, masyarakat madani harus dilenyapkan untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas. Bila Marx menempatkan masyarakat madani pada basis matrial, maka Gramsci meletakannya pada superstruktur, berdampingan dengan negara yang ia sebut sebagai political society. Masyarakat madani merupakan tempat perebutan posisi kekuasaan di luar kekuatan negara. Di dalamnya aparat kekuasaan mengembangkan kekuasaan untuk kesepakatan dalam masyarakat. Para cendikiawan yang merupakan aktor utama, dengan demikian ada sifat kemandirian dan politis, sekalipun instansi terakhir ia juga amat dipengaruhi oleh basis material ( Ekonomi).
Alexis de’Tocqueville (1805-1859 M) mengembangkan masyarakat madani dengan berdasarkan pengalaman demokrasi Amerika, mengembangkan sebagai wujud penyeimbang kekuatan negara. Dengan terwujudnya pluralitas, kekuatan politik, kemandirian dan kapasitas politik di dalam masyarakat madani, warga negara mampu mengimbangi dan mengontrol masyarakat madani.
Dari berbagai model pengembangan masyarakat madani model Gamsci dan Tocqueville-lah yang menjadi inspirasi gerakan prodemokrasi di Eropa Timur dan Tengah pada akhir darsawarsa 80-an. Gagasan tentang masyarakat madani kemudian menjadi semacam landasan ideologis untuk membebaskan diri dari cengkraman negara yang secara sistematis melemahkan daya kreasi dan kemandirian masyarakat.
Konsepsi ini di tambahkan oleh opini Hannah Arrendt dan Juergen Habermas yang menekankan pada ruang publik yang bebas (the free public sphere). Karena adanya ruang publik yang bebas ini individu (warga negara) dapat dan berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan penerbitan yang berkenaan dengan kepentingan umum.[4]
2.3. Karakteristik Masyarakat Madani
            Masyarakat madani mempunyai karakteristik,yaitu :
1.      Free public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, yaitu berhak dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada publik. Sebagai sebuah prasayarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatan masyarakat, maka free public sphere menjadi salah satu bagian yang harus dipenuhi, karena akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan warga Negara dalam menyalurkan aspirasinya.
2.      Demokratisasi, yaitu proses dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya. Demokrasi merupakan prasyarat yang banyak dikemukakan oleh para pakar. Dan demokrasi merupakan salah satu syarat mutlak bagi penegakan masyarakat madani. Penekanan demokratis disini dapat mencakup bentuk aspek kehidupan, seperti social, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya.
3.      Toleransi, yaitu sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang atau kelompok lain. Toleransi memungkinkan adanya kesadaran untuk menghargai serta menghormati pendapat yang dikemukakan oleh kelompok lainnya yang berbeda. Azyumardi juga menyebutkan bahwa masyarakat madani bukan hanya sekedar gerakan-gerakan pro demokrasi. Masyarakat ini mengacu juga pada yang berkualitas dan civility, civilitas yakni kesediaan induvidu – individu untuk menerima pandangan – pandangan politik dan sikap social  yang berbeda – beda.
4.      Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang majemuk disertai dengan sikap tulus. Menurut Nurcholis Madjid, konsep ini merupakan prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani. Menurutnya pluralism yaitu pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan – ikatan keadaban (genuine engagement ofdiversities within the bonds of civility). Bahkan juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check and balance).
5.       Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap lingkungannya. Keadilan dimaksud untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proposional terhadap hak dan kewajiban setiap warga Negara. Secara esensial, masyarakat memiliki hak yang sama dalm memperoleh kebijakan – kebijakan yang ditetapkan oleh penguasa (pemerintah).
6.      Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa atau pihak lain.
7.      Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan.
8.      Sebagai pengembangan masyarakat melalui upaya peningkatan pendapatan dan pendidikan. 
9.      Sebagai advokasi bagi masyarakt yang teraniaya dan tidak berdaya membela hak-hak dan kepentingan.
10.   Menjadi kelompok kepentingan atau kelompok penekan.[5]
11.  Pilar Penegak Masyarakat Madani
Yang dimaksud dengan pilar penegak masyarakat madani adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari social control yang berfungsi mengkritisikebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Dalam penegakan masyarakat madani, pilar-pilar tersebut menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya kekuatan masyarakat madani. Pilar-pilar tersebut antara lain adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pers, Supremasi Hukum, Perguruan Tinggi dan Partai politik.[6]

2.4. Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani
Mewujudkan masyarakat madani merupakan cita-cita yang amat mulia untuk dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat. Model masyarakat madani pernah dicontohkan pada masa Rasullullah SAW di Madinah. Pada masa itu kota Madinah dipimpin oleh Rosullullah SAW setelah terjadi perjanjian yang disebut Piagam Madinah. Piagam Madinah adalah kesepakatan antara Rosullullah SAW dan umat muslim lainnya beserta penduduk Yahudi. Di dalam perjanjian tersebut berisi untuk setiap masyarakat untuk saling tolong-menolong dan menciptakan kedamaian dalam kehidupan social, menjadikan Al-Quran sebagai landasan konstitusi, mengangkat Rosullullah menjadi peminpin, dan juga dalam piagam tersebut memberikan kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah dengan kepercayaan mereka masing-masing. Dalam kepemimpinan Rosullullah SAW, masyarakat madinah yang sebelumnya sering terjadi konflik berubah menjadi masyarakat yang damai dan saling tolong-menolong satu sama lain.[7]
Umat Islam di Indonesia merupakan komponen mayoritas bangsa Indonesia. Sebagai komponen terbesar penyusun bangsa ini, umat Islam dituntut untuk berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan bernegara ini.Umat islam di Indonesia yang sebagai mayoritas bertanggung jawab atau berperan sangat besar dalam mewujudkan masyarakat madani. Di negeri ini akan tergantung oleh bagaimana cara umat Islam dalam menjalani kehidupannya. Maka dari itu umat islam memiliki tiga peran yang nyata yaitu ;
-          Sebagai Warga Negara
sebagai warga Negara hendaknya umat Islam memenuhi kewajibannya sesuai pada peraturan-peraturan nagara yang telah dibuat.
-          Sebagai Pengembang Kehidupan Bangsa
Dalam hal ini,umat Islam diharapkan dapat menawarkan dirinya sebagai sumber pengembangan dalam segala aspek kehidupan seperti, ekonomi, sosial, pendidikan, politik dan budaya.Dalam melaksanakan perannya, segala tindakan harus didasari pada nilai-nilai yang Islami.
-          Sebagai Penata Kehidupan Bangsa dan Negara
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk karena Negara ini memiliki berbagai macam ras, suku, agama, etnik dan lain-lain. Maka umat Islah harus bener-benar pandai menerapkan gagasan islami yang ke-Indonesia-an. Hal ini karena untuk terciptannya kedamaian dan ketentraman, seperti yang diajarkan oleh Rasullullah SAW bahwa umat muslim adalah umat yang penuh kasih sayang, keadilan, dan kearifan yang sesuai dengan perintah Allah SWT. Dasar-dasar inilah yang dijadikan oleh umat Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Jika setiap orang memiliki rasa toleransi dan menghormati, maka kehidupan masyarakat madani akan tercapai.

Dalam melakukan perannya hendaknya umat Islam didasari pada pengetahuan dan wawasan yang meliputi:
a)      Wawasan Keislaman
b)      Wawasan atau pemahaan secara utuh tentang ajaran-ajaran Islam
c)      Wawasan Kebangsaan
d)     Merupakan peningkatan rasa nasionalisme.
e)      Wawasan Kecendikian
f)       Peningkatan dalam kualitas kecendikian.
g)      Wawasasan Kepemimpinan
Meliputi usaha dalam peningkatan dan pengembangan jati diri dan kepemimpinan umat serta wawasan kesejahteraan guna meningkatkan kegiatan ekonomi kerakyatan.

     Banyak yang sudah dilakukan umat Islam dalam menunjukan perannya dalam membangun masyarakat madani. Tapi akhir-akhir ini pandangan Islam buruk karena banyak umat Islam di Indonesia yang bersikap dan bertindak tanpa wawasan keislaman yang benar. Mereka bertindak atas nama umat Islam, oleh karena ini yang memperburuk pandangan masyarakan tentang Islam.[8]


2.5. Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat
2.5.1 Definisi Ekonomi Islam
Sementara ahli memberi definisi Ekonomi Islam adalah merupakan madzhab ekonomi Islam, yang terjelma di dalamnya bagaimana cara Islam mengatur kehidupan perekonomian, dengan apa yang dimiliki dan ditujukan oleh madzhab ini tentang ketelitian cara berfikir yang terdiri dari nilai-nilai moral Islam dan nilai-nilai ilmu ekonomi, atau nilai-nilai sejarah yang ada hubungannya dengan masalah-masalah siasat perekonomian maupun yang ada hubungannya dengan uraian sejarah masyarakat manusia.
Sebagian lagi lainnya berpendapat bahwa ekonomi Islam merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang kita simpulkan dari Al-Quran dan As-Sunnah, dan merupakan bangunan perekonomian yang kita dirikan di atas landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan tiap lingkungan dan masa.
Sementara lainnya mendefinisikan sebagai ilmu yang mengarahkan kegiatan ekonomi dan mengaturnya, sesuai dengan dasar-dasar dan siasat ekonomi Islam. Ekonomi Islam terdiri dari dua bagian: salah satu diantaranya tetap, sedang yang lain dapat berubah-ubah. Yang pertama adalah yang diistilahkan dengan “sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari Al-Quran dan As-Sunnah”, yang ada hubungannya dengan urusan-urusan ekonomi. Yang kedua “bangunan perekonomian yang kita dirikan di atas landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan tiap lingkungan dan masa”.[9]
2.5.2 Tujuan Ekonomi Islam
Adapun tujuan Ekonomi Islam berpedoman pada: Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam sistem Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
Seorang fuqaha asal Mesir bernama Prof.Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu:
a)      Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
b)      Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.[10]
c)      Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa masalah yang menjad puncak sasaran di atas mencakup lima jaminan dasar:
d)     keselamatan keyakinan agama ( al din)
e)      kesalamatan jiwa (al nafs)
f)       keselamatan akal (al aql)
g)      keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)
h)      keselamatan harta benda (al mal)
2.5.3 Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam                          
Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:
a)      Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
b)      Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
c)      Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.
d)     Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja.
e)      Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
f)       Seorang muslim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
g)      Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
h)      Islam melarang riba dalam segala bentuk.
         Banyak pihak beranggapan mewujudkan cita-cita kesejahteraan masyarakat sebagai manusia yang saling bersaudara dan sama-sama diciptakan oleh satu Tuhan, saat ini, hanyalah sebuah impian. Hal itu terjadi karena adanya penolakan menggunakan mekanisme filter yang disediakan oleh penilaian berbasis moral, di samping makin melemahnya perasaan sosial yang diserukan agama. Peningkatan moral dan solidaritas sosial tidak mungkin dapat dilakukan tanpa adanya kesakralan moral yang diberikan oleh agama. Para ahli mengakui, bahwa agama-agama cenderung memperkuat rasa kewajiban sosial dalam diri pemeluknya daripada menghancurkan. Sepanjang sejarah umat manusia tidak ditemukan contoh signifikan yang menunjukkan, bahwa suatu masyarakat yang berhasil memelihara kehidupan moral tanpa bantuan agama. 
Ajaran ekonomi yang dilandaskan nilai-nilai agama akan menjadikan tujuan kesejahteraan kehidupan yang meningkatkan jiwa dan rohani manusia menuju kepada Tuhannya.[11]
       Menurut Yusuf Qardhawi (1994), sesungguhnya manusia jika kebutuhan hidup pribadi dan keluarganya telah terpenuhi serta merta merasa aman terhadap diri dan rezekinya, maka mereka akan hidup dengan penuh ketenangan, beribadah dengan khusyu’ kepada Tuhannya yang telah memberi mereka makan, sehingga terbebas dari kelaparan dan memberi keamanan kepada mereka dari rasa takut. Dibutuhkan sebuah kesadaran, bahwa manusia diciptakan bukan untuk keperluan ekonomi, tetapi sebaliknya masalah ekonomi yang diciptakan untuk kepentingan manusia. Islam, sebagai ajaran universal, sesungguhnya ingin mendirikan suatu pasar yang manusiawi, di mana orang yang besar mengasihi orang kecil, orang yang kuat membimbing yang lemah, orang yang bodoh belajar dari yang pintar, dan orang-orang bebas menegur orang yang nakal dan zalim sebagaimana nilai-nilai utama yang diberikan Allah kepada umat manusia berdasarkan Al Qur’an Surah al-Anbiyaa ayat 107.
Berbeda dengan pasar yang Islami, menurut Qardhawi (1994), pasar yang berada di bawah naungan peradaban materialisme mencerminkan sebuah miniatur hutan rimba, di mana orang yang kuat memangsa yang lemah, orang yang besar menginjak-injak yang kecil. Orang yang bisa bertahan dan menang hanyalah orang yang paling kuat dan kejam, bukan orang yang paling baik dan ideal. Dengan demikian sulit membayangkan bahwa kesejahteraan akan dapat diperoleh dari sistem pasar dalam peradaban materialisme.
Untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi yang berkeadilan harus ada suatu sistem pasar yang sehat. Pasar itu sebenarnya adalah sebuah mekanisme yang canggih, namun gampang dirusak, untuk menata kehidupan ekonomi, sehingga setiap pribadi memberikan sumbangannya bagi keseluruhan dan juga memenuhi kebutuhannnya sendiri dengan kebebasan penuh untuk melakukan pilihan pribadinya. Pasar yang sehat menggalakkan keragaman, prakarsa dan kreativitas pribadi, dan upaya-upaya yang produktif (Korten, 2002).
Pasar yang sehat sangat tergantung pada kesadaran para pesertanya, sehingga harus ada persyaratan agar masyarakat umum menjatuhkan sanksi terhadap orang yang tidak menghormati hak dan kebutuhan orang lain, serta mengekang secara sukarela dorongan pribadi mereka untuk melampaui batas. Apabila tidak ada suatu budaya etika dan aturan-aturan publik yang memadai, maka pasar gampang sekali dirusak. Pasar yang sehat, tidak berfungsi dengan paham individualisme ekstrem dan kerakusan kapitalisme yang semena-mena, dan juga tidak berfungsi lewat penindasan oleh hierarki dan yang tidak mementingkan diri sama sekali, seperti dalam komunisme. Kedua faham tersebut merupakan penyakit yang amat parah.
Kesejahteraan dalam pembangunan sosial ekonomi, tidak dapat didefinisikan hanya berdasarkan konsep materialis dan hedonis, tetapi juga memasukkan tujuan-tujuan kemanusiaan dan keruhanian. Tujuan-tujuan tersebut tidak hanya mencakup masalah kesejahteraan ekonomi, melainkan juga mencakup permasalahan persaudaraan manusia dan keadilan sosial-ekonomi, kesucian kehidupan, kehormatan individu, kehormatan harta, kedamaian jiwa dan kebahagiaan, serta keharmonisan kehidupan keluarga dan masyarakat.
Ajaran Islam, sama sekali, tidak pernah melupakan unsur materi dalam kehidupan dunia. Materi penting bagi kemakmuran, kemajuan umat manusia, realisasi kehidupan yang baik bagi setiap manuisa, dan membantu manusia melaksanakan kewajibannya kepada Tuhan. Namun demikian, walaupun kehidupan ekonomi yang baik merupakan tujuan Islam yang dicita-citakan, bukan merupakan tujuan akhir. Kehidupan ekonomi yang baik, pada hakikatnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih besar dan lebih jauh. Hal ini merupakan perbedaan yang sangat esensial antara ajaran Islam dengan faham materialisme yang dianut oleh kaum Komunis ataupun para Sekuleristik.
Menurut Qardhawi, ideologi-ideologi materialisme bertumbuh kepada pemenuhan nafsu yang tidak terlepas dari ruang lingkup kepentingan ekonomi yang rendah. Kesenangan materi menjadi tujuan akhir dan merupakan surga yang dicita-citakan. Berbeda dengan ekonomi yang dilandasi moral agama, kesejahteraan kehidupan menjadikan tujuan untuk meningkatkan jiwa dan ruhani manusia menuju Tuhannya. Materi digunakan untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan yang lebih baik dan lebih kekal.
Ajaran Islam mengakui kebebasan pemilikan. Hak milik pribadi menjadi landasan pembangunan ekonomi, namun harus diperoleh dengan jalan yang telah ditentukan oleh Allah. Pemilikan harus melalui jalan halal yang telah disyariahkan. Demikian pula mengembangkan kepemilikan harus dengan cara-cara yang dihalalkan dan tidak dilarang oleh syariah. Islam melarang pemilik harta menggunakan kepemilikannya untuk membuat kerusakan di muka bumi atau melakukan sesuatu yang membahayakan manusia. Di samping itu dilarang pula mengembangkan kepemilikan dengan cara merusak nilai dan moral (akhlak), misalnya dengan menjual-belikan benda-benda yang diharamkan dan segala yang merusak kesehatan manusia baik akal, agama maupun akhlaknya. Dengan demikian, sebuah pasar yang sehat berlandaskan nilai-nilai moralitas keagamaan sangat diperlukan dalam sebuah sistem distribusi kepemilikan.[12]


2.6. Etos Kerja Islam
Ethos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter serta keyakinan atas sesuatu. Sedangkan kerja dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun non-materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniawian atau keakhiratan. Kamus besar bahasa Indonesia susunan WJS Poerdarminta mengemukakan bahwa kerja adalah perbuatan melakukan sesuatu. Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah. Lebih lanjut dikatakan bekerja adalah aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani) dan di dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT.[13]
Etos kerja dalam arti luas menyangkut akan akhlak dalam pekerjaan. Untuk bisa menimbang bagaimana akhlak seseorang dalam bekerja sangat tergantung dari cara melihat arti kerja dalam kehidupan, cara bekerja dan hakikat bekerja. Dalam Islam, iman banyak dikaitkan dengan amal. Dengan kata lain, kerja yang merupakan bagian dari amal tak lepas dari kaitan iman seseorang.[14]
     Menurut Geertz Etos adalah sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup. Etos adalaha aspek evaluatif yang bersifat menilai. Maka dalam hal ini bisa dinyatakan apakah kerja, dalam hal yang lebih khusus, usaha komersial, dianggap sebagai suatu keharusan demi hidup, atau sesuatu imperatif dari diri, ataukah sesuatu yang terikat pada identitas diri yang telah bersifat syakral? Identitas diri dalam hal ini adalah suatu yang telah diberikan oleh agama.[15]
Sehingga dapat dikatakan bahwa ethos kerja seorang muslim ialah semangat menapaki jalan lurus, mengharapkan ridha Allah SWT. berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai tuntunan dan pegangan bagi mereka karena Al-Qur’an dan Al-Hadits mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja melainkan juga mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah yang berkenaan dengan kerja.[16]


Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni'matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS. Al-Qashash:77).
 
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka.” (QS:Ar-Ra’d : 11)
Rasulullah SAW bersabda: “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok.”[17]
Etika kerja dalam Islam yang perlu diperhatikan adalah
a)      Adanya keterkaitan individu terhadap Allah sehingga menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya.
b)      Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan.
c)      Tidak memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus dipekerjakan secara professional dan wajar.
d)     Tidak melakukan pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah.
e)      Professionalisme dalam setiap pekerjaan.[18]
Berikut ini merupakan penjelasan tentang ciri-ciri etos kerja muslim tersebut adalah kutipan dari buku Memperdayakan Etos Kerja Islam yang ditulis oleh K.H.Toto Tasmara. 25 ciri etos kerja islam itu adalah sebagai berikut:
1.   Mereka kecanduan terhadap waktu
2.   Mereka memiliki moralitas yang bersih (ikhlas)
3.   Mereka kecanduan kejujuran
4.   Mereka memiliki komitmen
5.   Istiqomah Kuat Pendirian
6.   Mereka kecanduan disiplin
7.   Konsekuan dan berani menghadapi tantangan
8.   Mereka memiliki sikap percaya diri
9.   Mereka orang yang kreatif
10.  Mereka tipe orang yang bertanggung jawab
11.  Mereka bahagia karena melayani
12.  Mereka memiliki harga diri
13.  Memiliki jiwa kepemimpinan
14.  Mereka berorientasi ke masa depan
15.  Hidup berhemat dan efisien
16.  Memiliki jiwa wiraswasta
17.  Memiliki insting bertanding
18.  Keinginan untuk mandiri
19.  Mereka kecanduan belajar dan haus ilmu
20.  Memiliki semangat perantauan
21.  Mempertahankan kesehatan dan gizi
22.  Tangguh dan pantang menyerah
23.  Berorientasi pada produktivitas
24.  Memperkaya jaringan silaturahmi
25.  Mereka memiliki semangat perubahan[19]
2.7 Filantropi: Zakat dan Wakaf
2.7.1. Pengertian Zakat Dasar Hukumnya
Dalam hubungan dengan kepemilikan harta benda dalam ajaran islam dikenal dengan kewajiban membayar zakat. Zakat sebagai lembaga sosial keagamaan, telah tua umurnya dan telah dikenal dalam agama wahyu yang dibawa oleh para Rasul Allah terdahulu. Menurut asal katanya zakat berarti tambah, bersih atau suci, sedangkan menurut terminologi zakat adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada yang berhak.
Zakat pada dasarnya merupakan implementasi dari pandangan dasar islam tentang alam, yaitu alam adalah milik Allah sebagaimana firmannya  dalam surah Al-Baqarah ayat 284. Demikian pula harta yang diperoleh seseorang adalah mutlak milik Allah, manusia hanyalah memiliki amanat dan hak guna pakai yang bersifat sementara. Oleh karena itu pada setiap harta yang diperoleh terdapat hak Allah yang harus ditunaikan berdasarkan aturan yang telah ditetapkan-Nya, yaitu zakat.
Peraturan adanya zakat dalam ajaran islam sesuai dengan hakikat kepemilikan harta itu sendiri. Apabila seseorang memiliki sesuatu pada dasarnya tidak seluruh miliknya itu layak digunakan oleh dirinya. Ada hak-hak milik orang lain yang harus ditunaikannya.
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah seperti shalat, haji, dan puasa yang telah diatur secara rinci berdasarkan Alquran dan Sunah. Zakat juga merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia dimana pun.[20]
2.7.2. Sejarah Pelaksanaan Zakat di Indonesia           
Sejak Islam datang di Indonesia, zakat, infak, sedekah, merupakan sumber danna untuk membiayai pengembangan ajaran Islam dan perjuangan bangsa Indonesia menentang penjajahan Belanda. Di Sumatera misalnya, Belanda terlibat dalam perang berkepanjangan melawan masyarakat Aceh yang fanatik. Juga ditempat-tempat lain yang penduduknya beagama islam, umumnya mereka kuat dalam melawan Belanda, antara lain mereka memiliki sumber dana berupa hasil zakat, infak, dan sedekah.
Pemerintah Hindia Belanda khawatir dana tersebut akan dipergunakan untuk membiayai perlawanan terhadap mereka, kalau masalah zakat dan fitrah tidak diatur. Untuk melemahkan kekuatan rakyat yang bersumber dari zakat itu, pemerintah melarang semua pegawai dan priyayi pribumi ikut serta membantu pelaksanaan zakat. Larangan tersebut mempunyai dampak yang sangat negatif terhadap pelaksanaan zakat pada kalangan umat islam, karena dengan sendirinya penerimaan zakat menurun. Keadaan inilah yang diinginkan oleh kolonial agar mereka tetap bertahan tanpa pemberontakan.
Sejak Indonesia merdeka, memang ada usaha-usaha untuk tetap meningkatkan dan mengembangkan pelaksanaan zakat, bahkan pejabat pemerintahpun ada yang ikut membantu, walaupun belum ada badan resmi yang khusus menangani zakat yang dibentuk oleh pemerintah kecuali di Aceh (1959). Perhatian pemerintah terhadap zakat baru terjadi pada masa orde baru. Pada peringatan Isra’ Mi’raj di Istana Negara tanggal 26 Oktober 1968 , Presiden mengumumkan secara pribadi Beliau berseda menjadi amil zakat. Anjuran Presiden inilah yang mendorong terbentuknya badan amil zakat diberbagai provinsi yang dipelopori oleh Pemda DKI Jakarta.
Pada tahun 1968 Pemerintah mengeluarka Peraturan Menteri Agama Nomor 4/1968 tangal 15 Juli 1968 tentang pembentukan Badan Amil Zakat dan Peraturan Menteri Agama Nomor 5/1968 tanggal 22 Oktober 1968 tentang pembentukan Baitul Mal di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kotamadya. Di bawah kepemimpinan Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI Jakarta, Pemda DKI Jakarta mendirikan Badan Amil Zakat (BAZ) pada tanggal 5 Desember 1968 yang merupakan dalam wilayah khusus Ibukota Jakarta. Pembentukan BAZ olek Pemda DKI Jakarta ini kemudian dikuti oleh provinsi-provinsi lain.
Dalam rangka memberdayakan lembaga zakat di Indonesia, pada tahun 1991 keluar Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 29 dan 47 , yang mengatur pembinaan BAZ, yang kemudian diikuti dengan Intruksi Menteri Agama Nomor 5 tahun 1991 tentang pembinaan teknis BAZ.
Benda yang Wajib Dizakati
1.      Binatang ternak
Jenis binatang yang wajib dkeluarkan zakatnya hanya unta, sapi, kerbau, dan kambing.
2.      Emas dan perak
Barang tambang selain emas dan perak tidak wajib dizakati.
3.      Biji makanan yang mengenyangkan
Jenis-jenis biji makanan yang wajib dizakati adalah beras, jagung, gandum, dsb. Adapun biji makanan yang tidak mengenyankan seperti kacang tanh, kacang panjang, buncis, tanaman muda, dsb tidak wajib dizakati.
4.      Buah-buahan
Yang dimaksud dengan buah-buahan yang wajib dizakati hanya kurma dan anggur saja, sedangkan buah-buahan yang lainnya tidak.
5.      Harta perniagaan
Harta perniagaan wajib dizakati, dengan syarat-syarat seperti yang telah disebutkan pada zakat emas dan perak.
6.      Harta “rikas” dan “ma’adin”
7.      Hasil laut
8.      Harta profesi


Jenis Zakat
-          Zakat terbagi atas dua jenis yakni:
-          Zakat fitrah
Zakat yang wajib dikeluarkan muslim menjelang Idul Fitri pada bulan Ramadan. Besar zakat ini setara dengan 3,5 liter (2,7 kilogram) makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan.
-          Zakat maal (harta)
Zakat yang dikeluarkan seorang muslim yang mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak. Masing-masing jenis memiliki perhitungannya sendiri-sendiri.[21]
Hak Zakat
Meskipun zakat dijelaskan di dalam Al-Qur’an seara singkat, tetapi khusus mengenai orang yang berhak menerima zakat, disebutkan secara jelas dalam Surah at-Taubah ayat 60 orang-orang yang berhak menerima (mustahik) zakat yakni:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan oran-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dari ayat diatas, jelas bahwa Allah dengan tegas menunjukkan kepada umat islam kemana zakat itu harus disalurkan. Hal ini mengingatkan agar mereka memberikan harta zakat itu kepada orang-orang yang berhak menerimanya, karena mereka adalah kelompok orang yang sangat membutuhkan bantuan-bantuan pihak lain. Hal ini menunjukkan bahwa sasaran utama lembaga zakat adalah untuk menghapuskan kemiskinan dan kemelaratan umat Islam. Hal tersebut menunjukkan begitu pentingnya kedermawaan dan kepedulian umat Islam terhadap sesama umat manusia.
Hikmah Zakat
Adapun hikmah yang dapat diambil dari menunaikan ibadah zakat yaitu:
1.         Apabila dilihat dari segi orang yang memberi zakat yakni:
Zakat dapat mendidik orang untuk membersihkan jiwanya dari sifat kikir, tamak, sombong dan angkuh karena kekayaannya. Ibadah zakat juga dapat menumbuhkan sifat perhatian dan peduli terhadap orang lemah dan miskin.
2.         Apabila dilihat dari segi orang yang memerima zakat yakni:
Zakat memberikan harapan dan optimisme. Mereka memiliki harapan untuk dapat menyambung hidupnya dan mengubah nasibnya, sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki dan kecemburuan terhadap orang-orang kaya sehingga kesenjangan antara kaya dan miskin dapat diperkecil bahkan mungkin dapat dihilangkan.
Syariat islam tentang zakat mendorong adanya pemerataan pendapatan dan kepemilikan harta dikalangan masyarakat muslim, menghilangkan monopoli dan penumpukan harta pada sebagian masyarakat. Selanjutnya mendorong sistem ekonomi yang berdasarkan kerja sama dan tolong menolong.
2.7.3.      Manajemen Pengelolaan Zakat Produktif
Sehubungan dengan pengelolaan zakat yang kurang optimal, ada sebagian anggota masyarakat yang tergerak hatinya untuk memikirkan pengelolaan zakat itu secara produktif, sehinga mampu membangkitkan kesejahteraan umat islam khususnya, dan masyarakat pada umumnya. Asosiasi ini sangat diperlukan saat ini karena merupakan lembaga konsultatif, koordinatif, dan informatif tentang zakat. Untuk itu didalam pengelolaan zakat dibutuhkan beberapa prinsip, di antaranya adalah:
·         Berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Rasullah SAW
·         Keterbukaan
·         Memergunakan manajemen dan administrasi modern
·         Pengelolaan zakat dilakukan secara propesional
Amil zakat harus berpegang teguh pada tujuan pengelolaan zakat, yang antara lain adalah sebagai berikut:
a)      Mengangkat harkat dan martabat fakir miskin dan membantunya dari kesulitan dan penderitaan.
b)      Membantu pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh para mustahik.
c)      Menjembatani antara yang kaya dan yang miskin daklam suatu masyarakat.
d)     Meningkatkan syi’ar Islam.
e)      Mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara.
f)       Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial dalam masyarakat.
Apabila prinsip-prinsip pengelolaan dan tujuan pengelolaan zakat dipegang oleh amil zakat, baik itu lembaga maupun badan, serta zakat, infak, dan sedekah dikelola dengan manajemen modern dan tetap menerapkan empat fungsi standart manajemen, insyaallah zakat, infak, dan sedekah akan tercapai.
                Objek Wakaf
Objek wakaf yang dapat diwakafkan adalah benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang dimiliki secara tidak bergerak dapat dalam bentuk tanah, hak milik atas rumah, atau hak milik atas rumah susun. Sementara untuk objek wakaf benda bergerak dapat dengan bentuk uang.
Terminologi wakaf berasal daripada perkataan Arab “waqafa” yang bermaksud berhenti, menegah dan menahan. Dari segi istilah, wakaf telah diberikan takrif seperti: Syed Sabiq (Fiqh al-Sunnah) – Wakaf ialah menahan harta dan memberikan manfaatnya pada jalan Allah.
Istilah wakaf adalah berkait dengan infaq, zakat dan sedeqah. Ia adalah termasuk dalam mafhum infaq yang disebut oleh Allah sebanyak 60 kali dalam al-Quran. Ketiga-tiga perkara ini bermaksud memindahkan sebahagian daripada segolongan umat Islam kepada mereka yang memerlukan. Namun, berbanding zakat yang diwajibkan ke atas umat Islam yang memenuhi syarat-syarat tertentu dan sedeqah yang menjadi sunat yang umum ke atas umat Islam; wakaf lebih bersifat pelengkap (complement) kepada kedua-dua perkara tersebut. Disamping itu, apa yang disumbangkan melalui zakat adalah tidak kekal dimana sumbangannya akan digunakan dalam bentuk hangus, sedangkan harta wakaf adalah berbentuk produktif itu kekal dan boleh dilaburkan dalam pelbagai bentuk untuk faedah masa hadapan.[22]

Syarat Wakaf
Syarat wakaf yang menjadi syarat utama agar dapat sahnya suatu akad wakaf adalah seorang wakif telah dewasa, berakal sehat, tidak berhalangan membuat perbuatan hukum, dan pemilik utuh dan sah dari harta benda yang diwakafkan.
Akad wakaf yang diikrarkan seorang wakif harus disaksikan oleh dua orang saksi dan pejabat pembuat akta wakaf. Ikrar akad wakaf dilaksanakan dengan ikrar dari wakif untuk menyerahkan harta benda yang dimiliki secara sah untuk diurus oleh nadzir (orang yang mengurus harta wakaf) demi kepentingan ibadah dan kesejahteraan masyarakat.
·         Rukun Wakaf
a)      Ada yang berwakaf, syarat:
b)      Berhak berbuat kebaikan, sekalipun ia bukan islam.
c)      Kehendak sendiri, tidak sah karena dipaksa.
d)     Ada barang yang diwakafkan, syaratnya:
e)      Kekal zatnya. Berarti bila manfaatnya diambil, zat baang itu tidak rusak.
f)       Kepunyaan yang mewakafkan, walaupun musya’ (bercampur dan tidak dapat dipisahkan dari yag lain).
g)      Ada tempat berwakaf (yang berhak menerima hasil wakaf tersebut)
h)      Lafaz, seperti: “saya wakafkan ini kepada orang-orang miskin, atau saya wakafkan ini untuk membuat benteng.”[23]


2.7.4.       Manajemen Wakaf : Wakaf Dan Permasalahannya di Indonesia
Di Indonesia wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam masuk ke Indonesia. sebagai suatu lembaga Islam, wakaf telah menjadi salah satu penunjang perkembangan masyarakat Islam. Sebagian besar rumah ibadah, pengurus islam, dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya dibangun diatas tanah wakaf.
Jumlah tanah wakaf di Indonesia sangat banyak. Apabila jumlah wakaf di Indonesia  ini dihubungkan dengan negara yang saat ini sedang mengalami berbagai krisis, sebenarnya wakaf merupakan salah satu lembaga yang sangat potensial  untuk dikembangkan guna membantu masyarakat yang kurang mampu. Sayangnya, wakaf yang begitu banyak , pada umumnya pemanfaatanya masih bersifat konsutif dan belum dikelola secara produktif.

2.7.5.      Manajemen Pengelolaan Wakaf di Indonesia
Sebagaimana sudah diketahui, bahwa wakaf yang ada di Indonesia pada umumnya adalah benda-benda yang tidak bergerak (tanah,sawah, bangunan, dan lain-lain). Jumlah wakaf di Indonesia sangat banyak dan luas lokasinya. Wakaf yang tidak bergerak tersebut yang untuk memeliharanya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Masalahnya lagi masih cukup banyak nadzir (orang yang diserahi tugas untuk memelihara wakaf) yang kurang mampu mendapatkan dana pemeliharaan wakaf yang dikelolanya. Maka dari itu, Depertemen Agama sudah melalukan beberapa kali prlatihan nadzir dan sejenisnya.
Untuk mengelola wakaf produktif di Indonesia, yang pertama harus ada pembentukan suatu badan atau lembaga yang khusus mengelola wakaf, setelah itu lembaga tersebut harus menyusun perencanaan yang matang tentang hal-hal yang harus dilakukan dalam pengelolaan wakaf. Sesudah itu, langkah selanjutnya memperkuat organisasi pengelolaan wakaf, dan yang tidak kalah pentingnya adalah adanya pemberdayaan dan pengawasan.
Melalui penerapan manajemen modern, diharapkan Badan Wakaf Indonesia nantinya dapat mengembangakan wakaf secara produktif, sehingga wakaf dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat.















BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat madani adalah masyarakat berbudaya dan al-madaniyyah (tamaddun) yang maju, modern, berakhlak dan memiliki peradaban, semestinya melaksanakan nilai-nilai agama (etika reliji) atau bagi kita mengamalkan ajaran Islam (syarak) dengan benar. Untuk mewujudkan masyarakat madani dan agar terciptanya kesejahteraan umat maka kita sebagai generasi penerus supaya dapat membuat suatu perubahan yang signifikan. Selain itu, kita juga harus dapat menyesuaikan diri dengan apa yang sedang terjadi di masyarakat sekarang ini. Agar di dalam kehidupan bermasyarakat kita tidak ketinggalan berita.
Ada dua masyarakat madani dalam sejarah islam yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu:
1) Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman.
2) Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat
wacana masyarakat madani merupakan konsep yang bersumber dari pergolakan politik dan sejarah masyarakat Eropa Barat yang mengalami perubahan pola kehidupan Feodal menuju kehidupan masyarakat industri kapitalis. Perkembangan wacana masyarakat madani dapat diurutkan dari Cirero sampai pada Antonio Gramsci dan de’Tocquiville. Bahkan menurut Manfred Ridel, Cohen, dan Arato serta M. Dawam Rahardjo, wacana masyarakat madani sudah ada pada masa Aristoteles.

Dilihat dari gagasan diatas berarti masyarakat madani mempunyai karakteristik,yaitu : ruang publik yang bebas, Demokratisasi, Toleransi, Pluralisme, Keadilan sosial, Partisipasi sosial, Supremetasi hukum, Sebagai pengembangan masyarakat melalui upaya peningkatan pendapatan dan pendidikan, Sebagai advokasi bagi masyarakat yang teraniaya dan tidak berdaya membela hak-hak dan kepentingan, Menjadi kelompok kepentingan atau kelompok penekan, dan Pilar Penegak Masyarakat Madani.
Disini umat islam memiliki tiga peran yang nyata dalam mewujudkan masyarakat madani yaitu : sebagai warga negara, sebagai pengembang kehidupan bangsa, dan sebagai penata kehidupan bangsa dan Negara. Maka dari itu, ajaran ekonomi yang dilandaskan nilai-nilai agama akan menjadikan tujuan kesejahteraan kehidupan yang meningkatkan jiwa dan rohani manusia menuju kepada Tuhannya.
Adapun di dalam Islam mengenal yang namanya zakat, zakat memiliki dua fungsi baik untuk yang menunaikan zakat maupun yang menerimanya. Dengan zakat ini kita dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat higga mencapai derajat yang disebut masyarakat madani. Selain zakat, ada pula yang namanya wakaf. Wakaf selain untuk beribadah kepada Allah juga dapat berfungsi sebagai pengikat jalinan antara seorang muslim dengan muslim lainnya. Jadi wakaf mempunyai dua fungsi yakni fungsi ibadah dan fungsi sosial.
     Maka diharapkan kepada kita semua baik yang tua maupun yang muda agar dapat mewujudkan masyarakat madani di negeri kita yang tercinta ini yaitu Indonesia. Yakni melalui peningkatan kualiatas sumber daya manusia, potensi, perbaikan sistem ekonomi, serta menerapkan budaya zakat, infak, dan sedekah. Insya Allah dengan menjalankan syariat Islam dengan baik dan teratur kita dapat memperbaiki kehidupan bangsa ini secara perlahan.


DAFTAR PUSTAKA
Badan Standar Nasional.2006.Standar Kompetensi Dasar Pendidikan Kewarganegaraan SMA/SMK/MA.Jakarta:Depdiknas-BSNP
Abdullah, Taufik. 1988. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Edisi ke-4. Jakarta:LP3ES
Tasmara, Toto. 2002. Membudayakan Etos Kerja Islami. Jakarta : Gema Insani
Tim Musyawarah Guru Bina PAI Madrasah Aliyah. 2010. Al-Hikmah.  Sragen: Akik Pustaka.
Rosyada Dede, dkk, Demokrasi, hak asasi manusia masyarakat madani, Edisi Revisi, 2003, Cetakan pertama, 2000, jl. Kedondong I, No. 26 Rawamangun, Jakarta Timur: (ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003).

Ahmad, Muhammad Al-‘Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim.1980. Sistem Ekonomi Islam,Prinsip-prinsip dan Tujuan-tujuannya, Surabaya : PT. Bina Ilmu



http://fixguy.wordpress.com/makalah-masyarakat-madani/




[2]
[3] http://fixguy.wordpress.com/makalah-masyarakat-madani/
[4] Rosyada Dede, dkk, Demokrasi, hak asasi manusia masyarakat madani, Edisi Revisi, 2003, Cetakan pertama, 2000, jl. Kedondong I, No. 26 Rawamangun, Jakarta Timur: (ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003).
[6] Rosyada Dede, dkk, Demokrasi, hak sasi manusia masyarakat madani, Edisi Revisi, 2003, Cetakan pertama, 2000 , Jl. Kedondong I, No. 26 Rawamangun, Jakarta Timur: (ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003).

[9] Dr. Ahmad Muhammad Al-‘Assal dan Dr. Fathi Ahmad Abdul Karim,Sistem Ekonomi Islam,Prinsip-prinsip dan Tujuan-tujuannya,PT. Bina Ilmu,Surabaya,1980,hlm.11

[15] Taufik  Abdullah. “Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi” Edisi ke-4. (Jakarta:LP3ES 1988), hal. 3
[17] Tim Musyawarah Guru Bina PAI MA. Al-Hikmah. (Sragen: Akik Pustaka. 2010) hal. 17

[19] KH. Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja, Jakarta : Gema Insani. 2002) hal. 73-134
[20] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), edisi cetakan ke 40, 2007, bandung, jawa barat (sinar baru aglesindo, 1994) hal . 193-194
[23] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), edisi cetakan ke 40, 2007, bandung, jawa barat (sinar baru aglesindo, 1994) hal . 193-194

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS