Tugas Matakuliah Pendidikan Agama Islam
H. Zainul Fanani M.Ag
MASYARAKAT MADANI DAN KESEJAHTERAAN UMAT
Oleh:
Ketua:
R. Yuni Ristanti S 121810301039
Anggota:
Mickel Andy Ferrika
120110201079
Abdul Fajar
121910201011
Anita Rahman
121810301027
Indrianto Yoggi W
120810301158
Moh. Riyan Basofi
122110101172
Elinda Prastyani
112110204080
UNIVERSITAS JEMBER
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
Adanya
beberapa kasus penindasan rakyat yang dilakukan oleh penguasa merupakan
realitas yang sering kita lihat dan dengar dalam pemberitaan pers, baik melalui
media cetak maupun elektronik yang menimbulkan dampak yang besar bagi
masyarakat. Bagaimana masyarakat dapat menanggapi
masyarakat tersebut adalah hal yang perlu dikaji bersama. Untuk meninjau hal
tersebut Islam memiliki ajaran yang konkrit untuk menciptakan kondisi
masyarakat yang islami, karena islam bukan hanya sekedar agama yang memiliki
konsep ajaran spiritualitas atau ubudiyah semata.
Kemungkinan
akan adanya kekuatan masyrakat sebagai bagian dari komunitas sebuah negara akan
mengantarkan pada sebuah konsep masyarakat madani. Masyarakat madani merupakan
konsep yang mengalami proses yang sangat panjang. Masyarakat madani muncul
bersamaan dengan adanya proses modernisasi, terutama pada saat transformasi
dari masyarakat feudal dan menuju masyarakat modern. Dalam mendefinisikan
masyarakat madani ini sangat bergantung pada kondisi sosio-kultural suatu
bangsa. Dalam islam masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang taat pada
aturan Allah SWT, hidup dengan damai dan tentram, dan yang tercukupi kebutuhan
hidupnya.
1.2
Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini yaitu :
1.
Apakah
pengertian konsep masyarakat madani?
2.
Bagaimana sejarah dan perkembangan masyarakat madani?
3.
Bagaimana
karakteristik masyarakat madani?
4.
Bagaimana peran umat islam dalam mewujudkan masyarakat madani?
5.
Bagaimana sistem ekonomi islam dan kesejahteraan umat?
6.
Bagaimana etos kerja islam?
1.3
Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini yaitu:
1.
Untuk memahami pengertian konsep masyarakat madani.
2.
Untuk memahami sejarah dan perkembangan masyarakat madani.
3.
Untuk memahami karakteristik masyarakat
madani.
4.
Untuk memahami peran umat islam dalam mewujudkan masyarakat madani.
5.
Untuk memahami sistem ekonomi islam dan kesejahteraan umat.
6.
Untuk memahami etos kerja islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Konsep Masyarakat Madani
MADANI satu
kata yang indah. Punya arti yang dalam. Kadang kala banyak juga yang menyalah
artikannya. Apa itu sebenarnya madani. Bila diambil dari sisi pendekatan
letterlijk maka madani berasal dari kata m u d u n arti
sederhananya m a j u atau dipakai juga dengan kata m o d e
r n. Tetapi figurlijknya madani mengandung kata maddana
al-madaina (مَدَّنَ المَدَاِئنَ) artinya, banaa-ha ( بَنَاهَا
) yakni membangun atau hadhdhara (حَضَّر ) yaitu
memperadabkan dan tamaddana ( تَمَدَّنَ ) maknanya menjadi
beradab yang nampak dalam kehidupan masyarakatnya berilmu (periksa, rasio),
memiliki rasa (emosi) secara individu maupun secara kelompok serta memiliki
kemandirian (kedaulatan) dalam tata ruang dan peraturan-peraturan yang saling
berkaitan, kemudian taat asas pada kesepakatan (hukum) yang telah ditetapkan
dan diterima untuk kemashalahatan bersama.
Masyarakat madani ( الحَضْرِيُّ = al
hadhariyyu) adalah masyarakat berbudaya dan al-madaniyyah (tamaddun)
yang maju, modern, berakhlak dan memiliki peradaban, melaksanakan nilai - nilai
agama (etika religi) atau mengamalkan ajaran Islam (syarak) dengan
benar. Nilai - nilai agama Islam boleh saja tampak pada umat yang tidak atau
belum menyatakan dirinya Islam, akan tetapi telah mengamalkan nilai Islam itu.
Sesunguhnya Agama (Islam) tidak dibatasi ruang-ruang masjid, langgar,
pesantren, majlis ta’lim semata.
Pengamalan nilai - nilai agama sebenarnya menata
gerak kehidupan riil. Memberi acuan pelaksana tatanan politik pemerintahan,
sosial ekonomi, seni budaya, hak asasi manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penerapan nilai etika religi mewujudkan masyarakat yang hidup senang dan
makmur (تَنَعَّمَ = tana’ama) dengan aturan (قَانُوْنٌ مَدَنِيٌّ =
qanun madaniy) yang didalamnya terlindungi hak-hak privacy, perdata,
ulayat dan hak-hak masyarakat lainnya.
Masyarakat madani adalah masyarakat kuat mengamalkan
nilai agama (etika reliji). Seperti dalam tatanan masyarakat Madinah al
Munawwarah dimasa hayat Nabi Muhammad SAW. Sejahtera dalam keberagaman
pluralistis ditengah bermacam anutan paham kebiasaan. Tetapi satu dalam
pimpinan. Kekuatannya ada pada nilai dinul Islam. Mampu melahirkan masyarakat
proaktif menghadapi perubahan. Bersatu di dalam kesaudaraan karena terdidik
rohaninya. Pendidikan rohani merangkum aspek pembangunan sumber daya manusia
dengan pengukuhan nilai ibadah dan akhlak dalam diri umat melalui solat, zikir.
Pada akhirnya pendidikan watak atau domain ruhani ini mencakup aspek treatment.
Rawatan dan pengawalan melalui taubat, tazkirah, tarbiyah, tau’iyah.
Ditopang dua manazil atau sifat penting, yaitu Rabbaniah dan Siddiqiah.
Sifat Rabbaniah
ditegakkan dengan benar diatas landasan pengenalan (makrifat) dan pengabdian
(`ubudiah) kepada Allah melalui ilmu pengetahuan, pengajaran, nasihat, menyuruh
yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Siddiqiah mencakup enam jenis
kejujuran (al-sidq):
1.
kejujuran lidah,
2. kejujuran niat dan kemauan (sifat ikhlas),
3. kejujuran azam,
4. kejujuran al-wafa’ (jujur dengan apa yang
diucapkan dan dijanjikan),
5. kejujuran
bekerja (prestasi karya), dan
6. kejujuran mengamalkan ajaran agama (maqamat
al-din).
Kehidupan Madani terlihat pada kehidupan maju yang
luas pemahaman (tashawwur) sehingga menjadi sumber pendorong kegiatan di
bidang ekonomi yang lebih banyak bertumpu kepada keperluan jasmani (material
needs). Spiritnya melahirkan pemikiran konstruktif (amar makruf) dan
meninggalkan pemikiran destruktif (nahyun ‘anil munkar) melalui
pembentukan tata cara hidup yang diajarkan agama Islam. Mengembangkan masyarakat
Madani dimulai dari membangun domain kemanusiaan atau domain ruhiah
melalui pendidikan rohani yang merangkum aspek preventif. Menjaga umat dari
ketersesatan aqidah. Memelihara rakyat dari ketidakseimbangan emosional dan
mental. Agar umat terhindar dari melakukan perbuatan haram, durjana dan
kezaliman. Peningkatan mutu masyarakat dengan basis ilmu pengetahuan, basis
budaya dan agama.
Moralitas
Masyarakat Madani, Sikap hati-hati
sangat dituntut untuk meraih keberhasilan. Action planning di setiap lini adalah
keterpaduan, kebersamaan, kesepakatan, dan keteguhan. Langkah awalnya
menghidupkan musyawarah. Allah menghendaki kelestarian Agama secara mudah,
luwes, elastis, tidak beku dan tidak bersitegang. Memupuk sikap taawun
saling membantu dengan keyakinan bahwa Allah Yang Maha Rahman selalu membukakan
pintu berkah dari langit dan bumi.
Keterpaduan masyarakat dan pemerintah menjadi
kekuatan ampuh membangun kepercayaan rakyat banyak. Inilah inti reformasi yang
dituju di abad baru ini. Tingkat persaingan akan mampu dimenangkan “kepercayaan”
. Pengikat spiritnya adalah sikap Cinta kepada Bangsa dan Negara yang
direkat oleh pengalaman sejarah. Salah menerjemahkan suatu informasi,
berpengaruh bagi pengambilan keputusan. Sikap tergesa-gesa akan berakibat jauh
bagi keselamatan orang banyak. Masyarakat majemuk dapat dibina dengan kekuatan
etika reliji.
Peran serta masyarakat digerakkan melalui
musyawarah dan mufakat. Kekuatan moral yang dimiliki, ialah menanamkan “nawaitu”
dalam diri masing-masing mengamalkan ajaran agama dengan benar. Sebab, manusia
tanpa agama hakikinya bukan manusia sempurna. Tuntunan agama tampak pada adanya
akhlak dan ibadah. Akhlak melingkupi semua perilaku pada seluruh tingkat
kehidupan. Nyata dalam contoh yang ditinggalkan Rasulullah.
Ketika kehidupan manusia kian bertambah modern dan
peralatan teknologi semakin canggih, makin bertambah banyak masalah hati dan
kejiwaan manusia yang tampil kepermukaan. Tidak segera mudah dapat
diselesaikan. Solsusinya hanya mendekatkan diri kepada Allah SWT semata. Maka
tuntutan kedepan harus diawasi agar umat lahir dengan iman dalam ikatan budaya
(tamaddun). Rahasia keberhasilan adalah “tidak terburu-buru” dalam bertindak.
Selalu ada husnu-dzan (sangka baik) antara rakyat dan pemimpinnya. Kekuasaan
akan berhasil jika menyentuh hati nurani rakyat banyak, sebelum kekuasaan itu
menjejak bumi. Ukurannya adalah adil dan takarannya adalah kemashlahatan
umat banyak. Kemasannya adalah jujur secara transparan.
Umat perlu dihidupkan jiwanya. Menjadi satu umat
yang mempunyai falsafah dan tujuan hidup (wijhah) yang nyata.
Memiliki identitas (shibgah) dengan corak keperibadian terang
(transparan). Rela berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan.
Masyarakat Madani yang dituntut oleh “syari’at” Islam menjadi satu
aspek dari Sosial Reform yang memerlukan pengorganisasian (nidzam).
Masyarakat Madani mesti mampu menangkap tanda‑tanda zaman perubahan sosial, politik dan ekonomi –
pada setiap saat dan tempat dengan optimisme besar. Sikap apatis adalah
selemah‑lemah iman (adh’aful iman). Sikap diam (apatis) dalam kehidupan
hanya dapat dihilangkan dengan bekerja sama melalui tiga cara hidup , yakni
bantu dirimu sendiri (self help), bantu orang lain (self less help), dan saling
membantu dalam kehidupan ini (mutual help).
Ketiga konsep hidup ini mengajarkan untuk menjauhi
ketergantungan kepada pihak lain, artinya mandiri. Konsep madaniyah tampak
utama didalam pembentukan watak (character building) anak bangsa. Tentu
saja melalui jalur pendidikan. Maka reformasi terhadap pengelolaan keperluan
masyarakat atau birokrasi mesti meniru kehidupan lebah, yang kuat
persaudaraannya, kokoh organisasinya, berinduk dengan baik, terbang bersama
membina sarang, dan baik hasil usahanya serta dapat dinikmati oleh
lingkungannya.[1]
2.2. Sejarah
dan Perkembangan Masyarakat Madani
Ada dua masyarakat madani dalam sejarah Islam
yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu:
1) Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi
Sulaiman. Keadaan masyarakat saba’ mendiami negri yang baik,
subur, dan nyaman. Di tempat itu terdapat kebun dengan tanamannya yang subur,
yang menyediakan rizki, memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Negeri yang indah itu
merupakan wujud dai kasih sayang Allah yang disediakan bagi masyarakat
tersebut. Allah juga maha pengampun apabila terjadi kealpaan pada masyarakat
tersebut. Karena itu, Allah memerintahkan masyarakat Saba’ untuk bersyukur
kepada Allah yang telah menyediakan kebutuhan hidup mereka. Kisah keadaan
masyarakat Saba’ ini sangat populer dengan ungkapan Al-Qur’an Baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafuur[2]
2) Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat,
perjanjjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk
Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj.
Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling
menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an
sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan
penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi
penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang
dianutnya[3].
Untuk
lebih memahami pengertian masyarakat madani kita akan membahas tentang sejarah
dan perkembangan masyarakat madani dalam sejarah masyarakat Eropa Barat, wacana
masyarakat madani merupakan konsep yang bersumber dari pergolakan politik dan
sejarah masyarakat Eropa Barat yang mengalami perubahan pola kehidupan Feodal
menuju kehidupan masyarakat industri kapitalis. Perkembangan wacana masyarakat
madani dapat diurutkan dari Cirero sampai pada Antonio Gramsci dan
de’Tocquiville. Bahkan menurut Manfred Ridel, Cohen, dan Arato serta M. Dawam
Rahardjo, wacana masyarakat madani sudah ada pada masa Aristoteles.
Pada
masa Aristoteles (384-522
SM) masyarakat madani dipahami sebagai sistem kenegaraan yang disebut koinonia
pilitik, yakni sebuah komunitas politik tempat masyarakat dapat terlibat
langsung dalam percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Sebuah
sistem negara yang digunakan menggambarkan masyarakat politis dan etis, dimana
warganya berkedudukan sama di hadapan hukum. Hukum sendiri di anggap etos,
yaitu seperangkat nilai yang disepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur
politik tetapi juga sebagai substansi dasar kebijakan dari berbagai bentuk
interaksi di antara warga negara.
Marcus
tullius Cicero (106-43 SM) juga mengikuti konsepsi tentang masyarakat madani
yang di kemukakan oleh Aristoteles dengan istilah societies civilies, yaitu
sebuah kelompok yang mendominasi kelompok lain. Cirero lebih menekankan pada konsep Negara kota.
Untuk menggambarkan kerajaan, kota, dan korperasi lainnya.
Thomas
Hobes (1588-1679 M) dan Jhon Locke (1632-1704)
mengembangkan konsep masyarakat madani yang menitik beratkan pada sistem
kenegaraan ini. Menurut Hobes, masyarakat madani harus memiliki kekuasaan
mutlak, agar mampu mengontrol dan mengawasi sepenuhnya pola-pola perilaku
politik setiap warga negara. Sementara menurut Jhon Locke, kehadiran masyarakat
madani untuk melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara.
Konsekuensinya adalah msyarakat madani tidak boleh absolute dan harus membatasi
perannya pada wilayah yang tidak bisa dikelola masyarakat dan memberikan secara
adil dan proposional.
Adam
Ferguson tahun 1767 wacana masyarakat madani di kembangkan dengan mengambil
konteks sosio-kultural (sosial dan budaya masyarakat) dan politik Skotlandia.
Freguson menekankan masyarakat madani pada sebuah visi etis dalam kehidupan
bermasyarakat. Dengan konsep ini, Ferguson bertujuan agar publik memiliki
semangat untuk menghalangi munculnya despotisme, karena dalam masyarakat madani
itulah solidaritas social muncul dan di iringi oleh sentiment moral dan sikap
saling menyayangi serta saling mempercayai antar warganegara secara ilmiah.
Thomas
Paine (1792) memiliki wacana yang berbeda dengan sebelumnya. Ia menggunakan
istilah masyarakat madani sebagai sekelompok masyarakat yang memilik diametral
dengan negara, bahkan di anggapnya sebagai anti tesis dari negara. Masyarakat
madani menurut Paine adalah ruang dimana warga negara dapat mengembangkan
kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas dan
tanpa paksaan. Oleh karenanya, maka masyrakat madani harus lebih kuat dan mampu
mengontrol Negara demi kebutuhannya.
G. W. F
Hegel (1770-1831 M), Karl Mark 1818-1883) dan Antonio Gramsci (1891-1837 M).
wacana masyarakat madani yang dikembangkan oleh ketiga tokoh ini menekankan
pada masyarakat madani sebagai elemen ideologi kelas dominan. Pemahaman ini merupakan reaksi dari pemahaman
Paine (masyarakat madani adalah bagian terpisah dari negara) menurut Hegel
masyarakat madani merupakan bagian yang merubah dari negara. Hegel mengatakan
bahwa struktur sosial terbagi atas 3 wujud, yaitu keluarga, masyarakat madani,
dan negara. Keluarga adalah ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota
masyarakat yang bercirikan keharmonisan.
Masyarakat
madani siasat politik berbagai kepentingan pribadi dan golongan terutama
kepentingan ekonomi. Sedangkan negara adalah perwakilan ide universal yang
bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan berhak penuh untuk
intervensi terhadap masyarakat madani. Selain itu masyarakat madani pada
kenyataannya tidak mampu mengatasi kelemahannya sendiri serta tidak mampu
mempertahankan keberadaannya bila tanpa keteraturan politik dan ketertundukan
pada institusi yang lebih tinggi, yaitu negara. Oleh karena itu, negara dan
masyarakat madani sesuatu yang saling memperkuat satu sama lain.
Sedangkan
Karl Marx memahami masyarakat madani sebagai masyarakat borjuis dalam konteks
hubungan produksi kapitalis, keberadaannya merupakan kendala bagi pembebasan
manusia dari penindasan. Karenanya, masyarakat madani harus dilenyapkan untuk
mewujudkan masyarakat tanpa kelas. Bila Marx menempatkan masyarakat madani pada
basis matrial, maka Gramsci meletakannya pada superstruktur, berdampingan
dengan negara yang ia sebut sebagai political society. Masyarakat madani
merupakan tempat perebutan posisi kekuasaan di luar kekuatan negara. Di
dalamnya aparat kekuasaan mengembangkan kekuasaan untuk kesepakatan dalam
masyarakat. Para cendikiawan yang merupakan aktor utama, dengan demikian ada
sifat kemandirian dan politis, sekalipun instansi terakhir ia juga amat
dipengaruhi oleh basis material ( Ekonomi).
Alexis
de’Tocqueville (1805-1859 M) mengembangkan masyarakat madani dengan berdasarkan
pengalaman demokrasi Amerika, mengembangkan sebagai wujud penyeimbang kekuatan
negara. Dengan terwujudnya pluralitas, kekuatan politik, kemandirian dan
kapasitas politik di dalam masyarakat madani, warga negara mampu mengimbangi
dan mengontrol masyarakat madani.
Dari
berbagai model pengembangan masyarakat madani model Gamsci dan Tocqueville-lah
yang menjadi inspirasi gerakan prodemokrasi di Eropa Timur dan Tengah pada
akhir darsawarsa 80-an. Gagasan tentang masyarakat madani kemudian menjadi
semacam landasan ideologis untuk membebaskan diri dari cengkraman negara yang
secara sistematis melemahkan daya kreasi dan kemandirian masyarakat.
Konsepsi
ini di tambahkan oleh opini Hannah Arrendt dan Juergen Habermas yang menekankan
pada ruang publik yang bebas (the
free public sphere). Karena adanya ruang publik yang bebas ini individu (warga
negara) dapat dan berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan
pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan penerbitan yang berkenaan
dengan kepentingan umum.[4]
2.3. Karakteristik
Masyarakat Madani
Masyarakat madani mempunyai
karakteristik,yaitu :
1.
Free public sphere (ruang
publik yang bebas), yaitu masyarakat memiliki akses penuh terhadap setiap
kegiatan publik, yaitu berhak dalam menyampaikan pendapat, berserikat,
berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada publik. Sebagai sebuah
prasayarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam
sebuah tatan masyarakat, maka free public sphere menjadi salah satu bagian yang
harus dipenuhi, karena akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan
warga Negara dalam menyalurkan aspirasinya.
2.
Demokratisasi, yaitu proses
dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam
menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya. Demokrasi
merupakan prasyarat yang banyak dikemukakan oleh para pakar. Dan demokrasi merupakan
salah satu syarat mutlak bagi penegakan masyarakat madani. Penekanan demokratis
disini dapat mencakup bentuk aspek kehidupan, seperti social, budaya, politik,
ekonomi, dan sebagainya.
3.
Toleransi, yaitu sikap
saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh
orang atau kelompok lain. Toleransi memungkinkan adanya kesadaran untuk
menghargai serta menghormati pendapat yang dikemukakan oleh kelompok lainnya
yang berbeda. Azyumardi juga menyebutkan bahwa masyarakat madani bukan hanya
sekedar gerakan-gerakan pro demokrasi. Masyarakat ini mengacu juga pada yang
berkualitas dan civility, civilitas yakni kesediaan induvidu – individu untuk
menerima pandangan – pandangan politik dan sikap social yang berbeda –
beda.
4.
Pluralisme, yaitu sikap
mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang majemuk disertai dengan sikap
tulus. Menurut Nurcholis Madjid, konsep ini merupakan prasyarat bagi tegaknya
masyarakat madani. Menurutnya pluralism yaitu pertalian sejati kebhinekaan
dalam ikatan – ikatan keadaban (genuine engagement
ofdiversities within the bonds of civility). Bahkan juga suatu keharusan bagi
keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan
pengimbangan (check and balance).
5.
Keadilan sosial (social justice), yaitu
keseimbangan dan pembagian antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab
individu terhadap lingkungannya. Keadilan dimaksud untuk menyebutkan
keseimbangan dan pembagian yang proposional terhadap hak dan kewajiban setiap
warga Negara. Secara esensial, masyarakat memiliki hak yang sama dalm
memperoleh kebijakan – kebijakan yang ditetapkan oleh penguasa (pemerintah).
6.
Partisipasi sosial, yaitu
partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi,
ataupun intervensi penguasa atau pihak lain.
7.
Supremasi hukum, yaitu
upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan.
8.
Sebagai pengembangan
masyarakat melalui upaya peningkatan pendapatan dan pendidikan.
9.
Sebagai advokasi bagi
masyarakt yang teraniaya dan tidak berdaya membela hak-hak dan kepentingan.
10. Menjadi kelompok kepentingan atau kelompok
penekan.[5]
11. Pilar
Penegak Masyarakat Madani
Yang dimaksud dengan pilar penegak masyarakat madani
adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari social control yang berfungsi mengkritisikebijakan-kebijakan
penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang
tertindas. Dalam penegakan masyarakat madani, pilar-pilar tersebut menjadi
prasyarat mutlak bagi terwujudnya kekuatan masyarakat madani. Pilar-pilar
tersebut antara lain adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pers, Supremasi
Hukum, Perguruan Tinggi dan Partai politik.[6]
2.4. Peran
Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani
Mewujudkan masyarakat madani merupakan cita-cita yang
amat mulia untuk dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat. Model masyarakat
madani pernah dicontohkan pada masa Rasullullah SAW di Madinah. Pada masa itu kota Madinah dipimpin oleh Rosullullah SAW
setelah terjadi perjanjian yang disebut Piagam Madinah. Piagam Madinah adalah
kesepakatan antara Rosullullah SAW dan umat muslim lainnya beserta penduduk
Yahudi. Di dalam perjanjian tersebut berisi untuk setiap masyarakat untuk
saling tolong-menolong dan menciptakan kedamaian dalam kehidupan social,
menjadikan Al-Quran sebagai landasan konstitusi, mengangkat Rosullullah menjadi
peminpin, dan juga dalam piagam tersebut memberikan kebebasan untuk memeluk
agama dan beribadah dengan kepercayaan mereka masing-masing. Dalam kepemimpinan
Rosullullah SAW, masyarakat madinah yang sebelumnya sering terjadi konflik
berubah menjadi masyarakat yang damai dan saling tolong-menolong satu sama
lain.[7]
Umat Islam di Indonesia merupakan komponen mayoritas bangsa Indonesia.
Sebagai komponen terbesar penyusun bangsa ini, umat Islam dituntut untuk
berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan bernegara ini.Umat islam di
Indonesia yang sebagai mayoritas bertanggung jawab atau berperan sangat besar
dalam mewujudkan masyarakat madani. Di negeri ini akan tergantung oleh
bagaimana cara umat Islam dalam menjalani kehidupannya. Maka dari itu umat
islam memiliki tiga peran yang nyata yaitu ;
-
Sebagai Warga Negara
sebagai warga Negara hendaknya umat Islam
memenuhi kewajibannya sesuai pada peraturan-peraturan nagara yang telah dibuat.
-
Sebagai Pengembang Kehidupan Bangsa
Dalam hal ini,umat Islam diharapkan dapat
menawarkan dirinya sebagai sumber pengembangan dalam segala aspek kehidupan
seperti, ekonomi, sosial, pendidikan, politik dan budaya.Dalam melaksanakan
perannya, segala tindakan harus didasari pada nilai-nilai yang Islami.
-
Sebagai Penata Kehidupan Bangsa dan Negara
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang
majemuk karena Negara ini memiliki berbagai macam ras, suku, agama, etnik dan
lain-lain. Maka umat Islah harus bener-benar pandai menerapkan gagasan islami
yang ke-Indonesia-an. Hal ini karena untuk terciptannya kedamaian dan
ketentraman, seperti yang diajarkan oleh Rasullullah SAW bahwa umat muslim
adalah umat yang penuh kasih sayang, keadilan, dan kearifan yang sesuai dengan perintah Allah SWT.
Dasar-dasar inilah yang dijadikan oleh umat Islam dalam kehidupan
bermasyarakat. Jika setiap orang memiliki rasa toleransi dan menghormati, maka
kehidupan masyarakat madani akan tercapai.
Dalam
melakukan perannya hendaknya umat Islam didasari pada pengetahuan dan wawasan
yang meliputi:
a)
Wawasan Keislaman
b)
Wawasan atau pemahaan secara utuh tentang ajaran-ajaran Islam
c)
Wawasan Kebangsaan
d)
Merupakan peningkatan rasa nasionalisme.
e)
Wawasan Kecendikian
f)
Peningkatan dalam kualitas kecendikian.
g)
Wawasasan Kepemimpinan
Meliputi
usaha dalam peningkatan dan pengembangan jati diri dan kepemimpinan umat serta
wawasan kesejahteraan guna meningkatkan kegiatan ekonomi kerakyatan.
Banyak yang sudah dilakukan umat Islam
dalam menunjukan perannya dalam membangun masyarakat madani. Tapi akhir-akhir
ini pandangan Islam buruk karena banyak umat Islam di Indonesia yang bersikap
dan bertindak tanpa wawasan keislaman yang benar. Mereka bertindak atas nama
umat Islam, oleh karena ini yang memperburuk pandangan masyarakan tentang
Islam.[8]
2.5. Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat
2.5.1 Definisi Ekonomi Islam
Sementara ahli memberi definisi Ekonomi Islam
adalah merupakan madzhab ekonomi Islam, yang terjelma di dalamnya bagaimana
cara Islam mengatur kehidupan perekonomian, dengan apa yang dimiliki dan
ditujukan oleh madzhab ini tentang ketelitian cara berfikir yang terdiri dari
nilai-nilai moral Islam dan nilai-nilai ilmu ekonomi, atau nilai-nilai sejarah
yang ada hubungannya dengan masalah-masalah siasat perekonomian maupun yang ada
hubungannya dengan uraian sejarah masyarakat manusia.
Sebagian lagi lainnya berpendapat bahwa
ekonomi Islam merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang kita simpulkan
dari Al-Quran dan As-Sunnah, dan merupakan bangunan perekonomian yang kita
dirikan di atas landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan tiap lingkungan dan
masa.
Sementara lainnya mendefinisikan sebagai ilmu
yang mengarahkan kegiatan ekonomi dan mengaturnya, sesuai dengan dasar-dasar
dan siasat ekonomi Islam. Ekonomi Islam terdiri dari dua bagian: salah satu
diantaranya tetap, sedang yang lain dapat berubah-ubah. Yang pertama adalah
yang diistilahkan dengan “sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan
dari Al-Quran dan As-Sunnah”, yang ada hubungannya dengan urusan-urusan
ekonomi. Yang kedua “bangunan perekonomian yang kita dirikan di atas landasan
dasar-dasar tersebut sesuai dengan tiap lingkungan dan masa”.[9]
2.5.2 Tujuan Ekonomi Islam
Adapun
tujuan Ekonomi Islam berpedoman
pada: Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam sistem Islam mengarah pada
tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan,
kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu
manusia mencapai kemenangan di
dunia dan di akhirat.
Seorang
fuqaha asal Mesir bernama Prof.Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa
Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu:
a)
Penyucian jiwa
agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan
lingkungannya.
b)
Tegaknya keadilan
dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang
hukum dan muamalah.[10]
c)
Tercapainya maslahah
(merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa masalah yang menjad puncak
sasaran di atas mencakup lima jaminan dasar:
d)
keselamatan keyakinan agama
( al din)
e)
kesalamatan jiwa (al nafs)
f)
keselamatan akal (al aql)
g)
keselamatan keluarga dan
keturunan (al nasl)
h)
keselamatan harta benda (al
mal)
2.5.3 Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
Secara
garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:
a)
Berbagai sumber daya
dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
b)
Islam mengakui pemilikan
pribadi dalam batas-batas tertentu.
c)
Kekuatan penggerak utama
ekonomi Islam adalah kerja sama.
d)
Ekonomi Islam menolak
terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja.
e)
Ekonomi Islam menjamin
pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak
orang.
f)
Seorang muslim harus takut
kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
g)
Zakat harus dibayarkan atas
kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
h)
Islam melarang riba dalam
segala bentuk.
Banyak pihak beranggapan mewujudkan cita-cita kesejahteraan
masyarakat sebagai manusia yang saling bersaudara dan sama-sama diciptakan oleh
satu Tuhan, saat ini, hanyalah sebuah impian. Hal itu terjadi karena adanya
penolakan menggunakan mekanisme filter yang disediakan oleh penilaian berbasis
moral, di samping makin melemahnya perasaan sosial yang diserukan agama. Peningkatan moral dan solidaritas sosial
tidak mungkin dapat dilakukan tanpa adanya kesakralan moral yang diberikan oleh
agama. Para ahli mengakui, bahwa agama-agama cenderung memperkuat rasa
kewajiban sosial dalam diri pemeluknya daripada menghancurkan. Sepanjang
sejarah umat manusia tidak ditemukan contoh signifikan yang menunjukkan, bahwa
suatu masyarakat yang berhasil memelihara kehidupan moral tanpa bantuan agama.
Ajaran ekonomi yang dilandaskan nilai-nilai
agama akan menjadikan tujuan kesejahteraan kehidupan yang meningkatkan jiwa dan
rohani manusia menuju kepada
Tuhannya.[11]
Menurut
Yusuf Qardhawi (1994), sesungguhnya manusia jika kebutuhan hidup pribadi dan
keluarganya telah terpenuhi serta merta merasa aman terhadap diri dan
rezekinya, maka mereka akan hidup dengan penuh ketenangan, beribadah dengan
khusyu’ kepada Tuhannya yang telah memberi mereka makan, sehingga terbebas dari
kelaparan dan memberi keamanan kepada mereka dari rasa takut. Dibutuhkan sebuah
kesadaran, bahwa manusia diciptakan bukan untuk keperluan ekonomi, tetapi sebaliknya masalah ekonomi yang diciptakan untuk
kepentingan manusia. Islam, sebagai ajaran universal, sesungguhnya ingin
mendirikan suatu pasar yang manusiawi, di mana orang yang besar mengasihi orang
kecil, orang yang kuat membimbing yang lemah, orang yang bodoh belajar dari
yang pintar, dan orang-orang bebas menegur orang yang nakal dan zalim
sebagaimana nilai-nilai utama yang diberikan Allah kepada umat manusia
berdasarkan Al Qur’an Surah al-Anbiyaa ayat 107.
Berbeda dengan pasar yang
Islami, menurut Qardhawi (1994), pasar yang berada di bawah naungan peradaban
materialisme mencerminkan sebuah miniatur hutan rimba, di mana orang yang kuat
memangsa yang lemah, orang yang besar menginjak-injak yang kecil. Orang yang
bisa bertahan dan menang hanyalah orang yang paling kuat dan kejam, bukan orang
yang paling baik dan ideal. Dengan demikian sulit membayangkan bahwa
kesejahteraan akan dapat diperoleh dari sistem pasar dalam peradaban
materialisme.
Untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi yang berkeadilan
harus ada suatu sistem pasar yang sehat. Pasar itu sebenarnya adalah sebuah
mekanisme yang canggih, namun gampang dirusak, untuk menata kehidupan ekonomi,
sehingga setiap pribadi memberikan sumbangannya bagi keseluruhan dan juga
memenuhi kebutuhannnya sendiri dengan kebebasan penuh untuk melakukan pilihan
pribadinya. Pasar yang sehat menggalakkan keragaman, prakarsa dan kreativitas
pribadi, dan upaya-upaya yang produktif (Korten, 2002).
Pasar yang sehat sangat
tergantung pada kesadaran para pesertanya, sehingga harus ada persyaratan agar
masyarakat umum menjatuhkan sanksi terhadap orang yang tidak menghormati hak
dan kebutuhan orang lain, serta mengekang secara sukarela dorongan pribadi
mereka untuk melampaui batas. Apabila tidak ada suatu budaya etika dan
aturan-aturan publik yang memadai, maka pasar gampang sekali dirusak. Pasar
yang sehat, tidak berfungsi dengan paham individualisme ekstrem dan kerakusan
kapitalisme yang semena-mena, dan juga tidak berfungsi lewat penindasan oleh
hierarki dan yang tidak mementingkan diri sama sekali, seperti dalam komunisme.
Kedua faham tersebut merupakan penyakit yang amat parah.
Kesejahteraan
dalam pembangunan sosial ekonomi,
tidak dapat didefinisikan hanya berdasarkan konsep materialis dan hedonis,
tetapi juga memasukkan tujuan-tujuan kemanusiaan dan keruhanian. Tujuan-tujuan
tersebut tidak hanya mencakup masalah kesejahteraan ekonomi, melainkan juga
mencakup permasalahan persaudaraan manusia dan keadilan sosial-ekonomi,
kesucian kehidupan, kehormatan individu, kehormatan harta, kedamaian jiwa dan
kebahagiaan, serta keharmonisan kehidupan keluarga dan masyarakat.
Ajaran Islam, sama sekali,
tidak pernah melupakan unsur materi dalam kehidupan dunia. Materi penting bagi
kemakmuran, kemajuan umat manusia, realisasi kehidupan yang baik bagi setiap
manuisa, dan membantu manusia melaksanakan kewajibannya kepada Tuhan. Namun
demikian, walaupun kehidupan ekonomi
yang baik merupakan tujuan Islam yang dicita-citakan, bukan merupakan tujuan
akhir. Kehidupan ekonomi yang
baik, pada hakikatnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih besar
dan lebih jauh. Hal ini merupakan perbedaan yang sangat esensial antara ajaran
Islam dengan faham materialisme yang dianut oleh kaum Komunis ataupun para
Sekuleristik.
Menurut Qardhawi,
ideologi-ideologi materialisme bertumbuh kepada pemenuhan
nafsu yang tidak terlepas dari ruang lingkup kepentingan ekonomi yang rendah.
Kesenangan materi menjadi tujuan akhir dan merupakan surga yang dicita-citakan.
Berbeda dengan ekonomi yang dilandasi moral agama, kesejahteraan kehidupan
menjadikan tujuan untuk meningkatkan jiwa dan ruhani manusia menuju Tuhannya.
Materi digunakan untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan yang lebih
baik dan lebih kekal.
Ajaran
Islam
mengakui kebebasan pemilikan. Hak milik pribadi menjadi landasan pembangunan ekonomi, namun harus diperoleh dengan
jalan yang telah ditentukan oleh Allah. Pemilikan harus melalui jalan halal
yang telah disyariahkan. Demikian pula mengembangkan kepemilikan harus dengan
cara-cara yang dihalalkan dan tidak dilarang oleh syariah. Islam melarang
pemilik harta menggunakan kepemilikannya untuk membuat kerusakan di muka bumi
atau melakukan sesuatu yang membahayakan manusia. Di samping itu dilarang pula
mengembangkan kepemilikan dengan cara merusak nilai dan moral (akhlak),
misalnya dengan menjual-belikan benda-benda yang diharamkan dan segala yang
merusak kesehatan manusia baik akal, agama maupun akhlaknya. Dengan demikian,
sebuah pasar yang sehat berlandaskan nilai-nilai moralitas keagamaan sangat
diperlukan dalam sebuah sistem distribusi kepemilikan.[12]
2.6. Etos Kerja Islam
Ethos berasal dari
bahasa Yunani yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter serta keyakinan atas
sesuatu. Sedangkan kerja dalam pengertian luas
adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun
non-materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah
keduniawian atau keakhiratan. Kamus besar bahasa Indonesia susunan WJS
Poerdarminta mengemukakan bahwa kerja adalah perbuatan melakukan sesuatu.
Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah. Lebih lanjut
dikatakan bekerja adalah aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan
tertentu (jasmani dan rohani) dan di dalam mencapai tujuannya tersebut dia
berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal
sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT.[13]
Etos kerja dalam
arti luas menyangkut akan akhlak dalam pekerjaan. Untuk bisa menimbang
bagaimana akhlak seseorang dalam bekerja sangat tergantung dari cara melihat
arti kerja dalam kehidupan, cara bekerja dan hakikat bekerja. Dalam Islam, iman
banyak dikaitkan dengan amal. Dengan kata lain, kerja yang merupakan bagian
dari amal tak lepas dari kaitan iman seseorang.[14]
Menurut
Geertz Etos adalah sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan
hidup. Etos adalaha aspek evaluatif yang bersifat menilai. Maka dalam hal ini
bisa dinyatakan apakah kerja, dalam hal yang lebih khusus, usaha komersial,
dianggap sebagai suatu keharusan demi hidup, atau sesuatu imperatif dari diri,
ataukah sesuatu yang terikat pada identitas diri yang telah bersifat syakral?
Identitas diri dalam hal ini adalah suatu yang telah diberikan oleh agama.[15]
Sehingga dapat
dikatakan bahwa ethos kerja seorang muslim ialah semangat menapaki jalan lurus,
mengharapkan ridha Allah SWT. berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai
tuntunan dan pegangan bagi mereka karena Al-Qur’an dan Al-Hadits mempunyai
fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja melainkan juga mengatur umat
dalam memberikan tuntutan dalam masalah yang berkenaan dengan kerja.[16]
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni'matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS. Al-Qashash:77).
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib
suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri
mereka.” (QS:Ar-Ra’d : 11)
Rasulullah SAW bersabda: “bekerjalah
untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya, dan beribadahlah untuk
akhiratmu seakan-akan kamu mati besok.”[17]
Etika kerja dalam Islam yang
perlu diperhatikan adalah
a) Adanya keterkaitan
individu terhadap Allah sehingga menuntut individu untuk bersikap cermat dan
bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan
mempunyai hubungan baik dengan relasinya.
b) Berusaha dengan cara
yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan.
c) Tidak memaksakan
seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus
dipekerjakan secara professional dan wajar.
d) Tidak melakukan
pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba
dan hal-hal lain yang diharamkan Allah.
e) Professionalisme
dalam setiap pekerjaan.[18]
Berikut ini merupakan
penjelasan tentang ciri-ciri etos kerja muslim tersebut adalah kutipan dari
buku Memperdayakan Etos Kerja Islam yang ditulis oleh K.H.Toto Tasmara. 25 ciri
etos kerja islam itu adalah sebagai berikut:
1. Mereka kecanduan terhadap waktu
2. Mereka memiliki moralitas yang bersih (ikhlas)
3. Mereka kecanduan kejujuran
4. Mereka memiliki komitmen
5. Istiqomah Kuat Pendirian
6. Mereka kecanduan disiplin
7. Konsekuan dan berani menghadapi tantangan
8. Mereka memiliki sikap percaya diri
9. Mereka orang yang kreatif
10. Mereka tipe orang yang bertanggung jawab
11. Mereka bahagia karena melayani
12. Mereka memiliki harga diri
13. Memiliki jiwa kepemimpinan
14. Mereka berorientasi ke masa depan
15. Hidup berhemat dan efisien
16. Memiliki jiwa wiraswasta
17. Memiliki insting bertanding
18. Keinginan untuk mandiri
19. Mereka kecanduan belajar dan haus ilmu
20. Memiliki semangat perantauan
21. Mempertahankan kesehatan dan gizi
22. Tangguh dan pantang menyerah
23. Berorientasi pada produktivitas
24. Memperkaya jaringan silaturahmi
2.7 Filantropi: Zakat dan Wakaf
2.7.1. Pengertian Zakat Dasar Hukumnya
Dalam
hubungan dengan kepemilikan harta benda dalam ajaran islam dikenal dengan
kewajiban membayar zakat. Zakat sebagai lembaga sosial keagamaan, telah tua
umurnya dan telah dikenal dalam agama wahyu yang dibawa oleh para Rasul Allah
terdahulu. Menurut asal
katanya zakat berarti tambah, bersih atau suci, sedangkan menurut terminologi
zakat adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk
diserahkan kepada yang berhak.
Zakat
pada dasarnya merupakan implementasi dari pandangan dasar islam tentang alam,
yaitu alam adalah milik Allah sebagaimana firmannya dalam surah Al-Baqarah ayat 284. Demikian
pula harta yang diperoleh seseorang adalah mutlak milik Allah, manusia hanyalah
memiliki amanat dan hak guna pakai yang bersifat sementara. Oleh karena itu
pada setiap harta yang diperoleh terdapat hak Allah yang harus ditunaikan
berdasarkan aturan yang telah ditetapkan-Nya, yaitu zakat.
Peraturan
adanya zakat dalam ajaran islam sesuai dengan hakikat kepemilikan harta itu
sendiri. Apabila seseorang memiliki sesuatu pada dasarnya tidak seluruh
miliknya itu layak digunakan oleh dirinya. Ada hak-hak milik orang lain yang
harus ditunaikannya.
Zakat
merupakan salah satu rukun Islam,
dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam.
Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang
telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah
seperti shalat, haji, dan puasa yang telah diatur secara rinci berdasarkan
Alquran dan Sunah. Zakat juga merupakan amal sosial kemasyarakatan dan
kemanusiaan yang
dapat berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia dimana pun.[20]
2.7.2.
Sejarah Pelaksanaan Zakat di Indonesia
Sejak Islam datang di Indonesia, zakat, infak, sedekah,
merupakan sumber danna untuk membiayai pengembangan ajaran Islam dan perjuangan
bangsa Indonesia menentang penjajahan Belanda. Di Sumatera misalnya, Belanda
terlibat dalam perang berkepanjangan melawan masyarakat Aceh yang fanatik. Juga
ditempat-tempat lain yang penduduknya beagama islam, umumnya mereka kuat dalam
melawan Belanda, antara lain mereka memiliki sumber dana berupa hasil zakat, infak,
dan sedekah.
Pemerintah Hindia Belanda khawatir dana tersebut akan
dipergunakan untuk membiayai perlawanan terhadap mereka, kalau masalah zakat
dan fitrah tidak diatur. Untuk melemahkan kekuatan rakyat yang bersumber dari
zakat itu, pemerintah melarang semua pegawai dan priyayi pribumi ikut serta
membantu pelaksanaan zakat. Larangan tersebut mempunyai dampak yang sangat
negatif terhadap pelaksanaan zakat pada kalangan umat islam, karena dengan
sendirinya penerimaan zakat menurun. Keadaan inilah yang diinginkan oleh
kolonial agar mereka tetap bertahan tanpa pemberontakan.
Sejak Indonesia merdeka, memang ada usaha-usaha untuk
tetap meningkatkan dan mengembangkan pelaksanaan zakat, bahkan pejabat
pemerintahpun ada yang ikut membantu, walaupun belum ada badan resmi yang
khusus menangani zakat yang dibentuk oleh pemerintah kecuali di Aceh (1959).
Perhatian pemerintah terhadap zakat baru terjadi pada masa orde baru. Pada
peringatan Isra’ Mi’raj di Istana Negara tanggal 26 Oktober 1968 , Presiden
mengumumkan secara pribadi Beliau berseda menjadi amil zakat. Anjuran Presiden
inilah yang mendorong terbentuknya badan amil zakat diberbagai provinsi yang
dipelopori oleh Pemda DKI Jakarta.
Pada tahun 1968 Pemerintah mengeluarka Peraturan Menteri
Agama Nomor 4/1968 tangal 15 Juli 1968 tentang pembentukan Badan Amil Zakat dan
Peraturan Menteri Agama Nomor 5/1968 tanggal 22 Oktober 1968 tentang
pembentukan Baitul Mal di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kotamadya. Di
bawah kepemimpinan Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI Jakarta, Pemda DKI Jakarta
mendirikan Badan Amil Zakat (BAZ) pada tanggal 5 Desember 1968 yang merupakan
dalam wilayah khusus Ibukota Jakarta. Pembentukan BAZ olek Pemda DKI Jakarta
ini kemudian dikuti oleh provinsi-provinsi lain.
Dalam rangka memberdayakan lembaga zakat di Indonesia,
pada tahun 1991 keluar Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Agama Nomor 29 dan 47 , yang mengatur pembinaan BAZ, yang kemudian diikuti
dengan Intruksi Menteri Agama Nomor 5 tahun 1991 tentang pembinaan teknis BAZ.
Benda yang Wajib Dizakati
1.
Binatang ternak
Jenis
binatang yang wajib dkeluarkan zakatnya hanya unta, sapi, kerbau, dan kambing.
2.
Emas dan perak
Barang
tambang selain emas dan perak tidak wajib dizakati.
3.
Biji makanan yang
mengenyangkan
Jenis-jenis
biji makanan yang wajib dizakati adalah beras, jagung, gandum, dsb. Adapun biji
makanan yang tidak mengenyankan seperti kacang tanh, kacang panjang, buncis,
tanaman muda, dsb tidak wajib dizakati.
4.
Buah-buahan
Yang
dimaksud dengan buah-buahan yang wajib dizakati hanya kurma dan anggur saja,
sedangkan buah-buahan yang lainnya tidak.
5.
Harta perniagaan
Harta
perniagaan wajib dizakati, dengan syarat-syarat seperti yang telah disebutkan
pada zakat emas dan perak.
6.
Harta “rikas” dan “ma’adin”
7.
Hasil laut
8.
Harta profesi
Jenis Zakat
-
Zakat terbagi atas dua
jenis yakni:
-
Zakat
fitrah
Zakat
yang wajib dikeluarkan muslim menjelang Idul Fitri
pada bulan Ramadan.
Besar zakat ini setara dengan 3,5 liter (2,7 kilogram) makanan pokok yang ada
di daerah bersangkutan.
-
Zakat
maal (harta)
Zakat
yang dikeluarkan seorang muslim yang mencakup hasil
perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan,
emas dan perak. Masing-masing jenis memiliki perhitungannya sendiri-sendiri.[21]
Hak Zakat
Meskipun zakat dijelaskan di dalam Al-Qur’an seara
singkat, tetapi khusus mengenai orang yang berhak menerima zakat, disebutkan
secara jelas dalam Surah
at-Taubah ayat 60 orang-orang yang berhak menerima (mustahik)
zakat yakni:
Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan
oran-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dari ayat diatas, jelas bahwa Allah dengan tegas
menunjukkan kepada umat islam kemana zakat itu harus disalurkan. Hal ini
mengingatkan agar mereka memberikan harta zakat itu kepada orang-orang yang
berhak menerimanya, karena mereka adalah kelompok orang yang sangat membutuhkan
bantuan-bantuan pihak lain. Hal ini menunjukkan bahwa sasaran utama lembaga zakat
adalah untuk menghapuskan kemiskinan dan kemelaratan umat Islam. Hal tersebut
menunjukkan begitu pentingnya kedermawaan dan kepedulian umat Islam terhadap
sesama umat manusia.
Hikmah Zakat
Adapun
hikmah yang dapat diambil dari menunaikan ibadah zakat yaitu:
1.
Apabila dilihat dari segi
orang yang memberi zakat yakni:
Zakat
dapat mendidik orang untuk membersihkan jiwanya dari sifat kikir, tamak,
sombong dan angkuh karena kekayaannya. Ibadah zakat juga dapat menumbuhkan
sifat perhatian dan peduli terhadap orang lemah dan miskin.
2.
Apabila dilihat dari segi
orang yang memerima zakat yakni:
Zakat
memberikan harapan dan optimisme. Mereka memiliki harapan untuk dapat
menyambung hidupnya dan mengubah nasibnya, sekaligus menghilangkan sifat iri,
dengki dan kecemburuan terhadap orang-orang kaya sehingga kesenjangan antara
kaya dan miskin dapat diperkecil bahkan mungkin dapat dihilangkan.
Syariat
islam tentang zakat mendorong adanya pemerataan pendapatan dan kepemilikan
harta dikalangan masyarakat muslim, menghilangkan monopoli dan penumpukan harta
pada sebagian masyarakat. Selanjutnya mendorong sistem ekonomi yang berdasarkan
kerja sama dan tolong menolong.
2.7.3. Manajemen Pengelolaan Zakat
Produktif
Sehubungan dengan pengelolaan zakat yang kurang optimal,
ada sebagian anggota masyarakat yang tergerak hatinya untuk memikirkan
pengelolaan zakat itu secara produktif, sehinga mampu membangkitkan
kesejahteraan umat islam khususnya, dan masyarakat pada umumnya. Asosiasi ini
sangat diperlukan saat ini karena merupakan lembaga konsultatif, koordinatif,
dan informatif tentang zakat. Untuk itu didalam pengelolaan zakat dibutuhkan
beberapa prinsip, di antaranya adalah:
·
Berdasarkan al-Qur’an dan
Sunnah Rasullah SAW
·
Keterbukaan
·
Memergunakan manajemen dan
administrasi modern
·
Pengelolaan zakat dilakukan
secara propesional
Amil zakat harus berpegang teguh pada tujuan pengelolaan
zakat, yang antara lain adalah sebagai berikut:
a)
Mengangkat harkat dan
martabat fakir miskin dan membantunya dari kesulitan dan penderitaan.
b)
Membantu pemecahan permasalahan
yang dihadapi oleh para mustahik.
c)
Menjembatani antara yang
kaya dan yang miskin daklam suatu masyarakat.
d)
Meningkatkan syi’ar Islam.
e)
Mengangkat harkat dan
martabat bangsa dan negara.
f)
Mewujudkan kesejahteraan
dan keadilan sosial dalam masyarakat.
Apabila prinsip-prinsip pengelolaan dan tujuan
pengelolaan zakat dipegang oleh amil zakat, baik itu lembaga maupun badan,
serta zakat, infak, dan sedekah dikelola dengan manajemen modern dan tetap
menerapkan empat fungsi standart manajemen, insyaallah zakat, infak, dan
sedekah akan tercapai.
Objek Wakaf
Objek
wakaf yang dapat diwakafkan adalah benda bergerak maupun benda tidak bergerak
yang dimiliki secara tidak
bergerak dapat dalam bentuk tanah,
hak milik atas rumah,
atau hak milik atas rumah susun.
Sementara untuk objek wakaf benda bergerak dapat dengan bentuk uang.
Terminologi
wakaf berasal daripada perkataan Arab “waqafa” yang bermaksud berhenti, menegah
dan menahan. Dari segi istilah, wakaf telah diberikan takrif seperti: Syed Sabiq (Fiqh al-Sunnah) – Wakaf ialah
menahan harta dan memberikan manfaatnya pada jalan Allah.
Istilah
wakaf adalah berkait dengan infaq, zakat dan sedeqah. Ia adalah termasuk dalam
mafhum infaq yang disebut oleh Allah sebanyak 60 kali dalam al-Quran.
Ketiga-tiga perkara ini bermaksud memindahkan sebahagian daripada segolongan
umat Islam kepada mereka yang memerlukan. Namun, berbanding zakat yang
diwajibkan ke atas umat Islam
yang memenuhi syarat-syarat tertentu dan sedeqah yang menjadi sunat yang umum
ke atas umat Islam; wakaf lebih bersifat pelengkap (complement) kepada
kedua-dua perkara tersebut. Disamping itu, apa yang disumbangkan melalui zakat
adalah tidak kekal dimana sumbangannya akan digunakan dalam bentuk hangus,
sedangkan harta wakaf adalah berbentuk produktif itu kekal dan boleh dilaburkan
dalam pelbagai bentuk untuk faedah masa hadapan.[22]
Syarat
Wakaf
Syarat
wakaf yang menjadi syarat utama agar dapat sahnya suatu akad wakaf adalah
seorang wakif telah dewasa, berakal sehat, tidak berhalangan membuat perbuatan
hukum, dan pemilik utuh dan sah dari harta benda yang diwakafkan.
Akad
wakaf yang diikrarkan seorang wakif harus disaksikan oleh dua orang saksi dan
pejabat pembuat akta wakaf. Ikrar akad wakaf dilaksanakan dengan ikrar dari
wakif untuk menyerahkan harta benda yang dimiliki secara sah untuk diurus oleh
nadzir (orang yang mengurus harta wakaf) demi kepentingan ibadah dan
kesejahteraan masyarakat.
·
Rukun
Wakaf
a)
Ada yang berwakaf, syarat:
b)
Berhak berbuat kebaikan,
sekalipun ia bukan islam.
c)
Kehendak sendiri, tidak sah
karena dipaksa.
d)
Ada barang yang diwakafkan,
syaratnya:
e)
Kekal zatnya. Berarti bila
manfaatnya diambil, zat baang itu tidak rusak.
f)
Kepunyaan yang mewakafkan,
walaupun musya’ (bercampur dan tidak dapat dipisahkan dari yag lain).
g)
Ada tempat berwakaf (yang
berhak menerima hasil wakaf tersebut)
h) Lafaz, seperti:
“saya wakafkan ini kepada orang-orang miskin, atau saya wakafkan ini untuk
membuat benteng.”[23]
2.7.4. Manajemen Wakaf : Wakaf Dan Permasalahannya di
Indonesia
Di Indonesia wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh
umat Islam sejak agama Islam masuk ke Indonesia. sebagai suatu lembaga Islam,
wakaf telah menjadi salah satu penunjang perkembangan masyarakat Islam.
Sebagian besar rumah ibadah, pengurus islam, dan lembaga-lembaga keagamaan
Islam lainnya dibangun diatas tanah wakaf.
Jumlah tanah wakaf di Indonesia sangat banyak. Apabila
jumlah wakaf di Indonesia ini
dihubungkan dengan negara yang saat ini sedang mengalami berbagai krisis,
sebenarnya wakaf merupakan salah satu lembaga yang sangat potensial untuk dikembangkan guna membantu masyarakat
yang kurang mampu. Sayangnya, wakaf yang begitu banyak , pada umumnya pemanfaatanya
masih bersifat konsutif dan belum dikelola secara produktif.
2.7.5. Manajemen Pengelolaan Wakaf
di Indonesia
Sebagaimana sudah diketahui, bahwa wakaf yang ada di
Indonesia pada umumnya adalah benda-benda yang tidak bergerak (tanah,sawah,
bangunan, dan lain-lain). Jumlah wakaf di Indonesia sangat banyak dan luas
lokasinya. Wakaf yang tidak bergerak tersebut yang untuk memeliharanya
membutuhkan dana yang tidak sedikit. Masalahnya lagi masih cukup banyak nadzir
(orang yang diserahi tugas untuk memelihara wakaf) yang kurang mampu
mendapatkan dana pemeliharaan wakaf yang dikelolanya. Maka dari itu, Depertemen
Agama sudah melalukan beberapa kali prlatihan nadzir dan sejenisnya.
Untuk mengelola wakaf produktif di Indonesia, yang
pertama harus ada pembentukan suatu badan atau lembaga yang khusus mengelola
wakaf, setelah itu lembaga tersebut harus menyusun perencanaan yang matang
tentang hal-hal yang harus dilakukan dalam pengelolaan wakaf. Sesudah itu,
langkah selanjutnya memperkuat organisasi pengelolaan wakaf, dan yang tidak
kalah pentingnya adalah adanya pemberdayaan dan pengawasan.
Melalui penerapan manajemen modern, diharapkan Badan Wakaf Indonesia
nantinya dapat mengembangakan wakaf secara produktif, sehingga wakaf dapat
meningkatkan taraf hidup masyarakat.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa
masyarakat madani adalah masyarakat
berbudaya dan al-madaniyyah (tamaddun) yang maju, modern, berakhlak dan
memiliki peradaban, semestinya melaksanakan nilai-nilai agama (etika reliji)
atau bagi kita mengamalkan ajaran Islam (syarak) dengan benar. Untuk mewujudkan masyarakat madani dan agar terciptanya
kesejahteraan umat maka kita sebagai generasi penerus supaya dapat membuat
suatu perubahan yang signifikan. Selain itu, kita juga harus dapat menyesuaikan
diri dengan apa yang sedang terjadi di masyarakat sekarang ini. Agar di dalam
kehidupan bermasyarakat kita tidak ketinggalan berita.
Ada dua masyarakat madani dalam sejarah islam
yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu:
1) Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi
Sulaiman.
2) Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat
wacana
masyarakat madani merupakan konsep yang bersumber dari pergolakan politik dan
sejarah masyarakat Eropa Barat yang mengalami perubahan pola kehidupan Feodal
menuju kehidupan masyarakat industri kapitalis. Perkembangan wacana masyarakat
madani dapat diurutkan dari Cirero sampai pada Antonio Gramsci dan
de’Tocquiville. Bahkan menurut Manfred Ridel, Cohen, dan Arato serta M. Dawam
Rahardjo, wacana masyarakat madani sudah ada pada masa Aristoteles.
Dilihat dari gagasan diatas
berarti masyarakat madani mempunyai
karakteristik,yaitu : ruang
publik yang bebas, Demokratisasi, Toleransi, Pluralisme, Keadilan sosial, Partisipasi sosial, Supremetasi hukum, Sebagai pengembangan masyarakat melalui upaya
peningkatan pendapatan dan pendidikan, Sebagai
advokasi bagi masyarakat yang teraniaya dan tidak berdaya membela hak-hak dan
kepentingan, Menjadi
kelompok kepentingan atau kelompok penekan, dan Pilar Penegak Masyarakat Madani.
Disini umat islam memiliki tiga peran yang nyata dalam mewujudkan masyarakat madani yaitu : sebagai warga negara, sebagai pengembang kehidupan bangsa, dan sebagai penata kehidupan bangsa dan Negara. Maka dari itu, ajaran ekonomi yang dilandaskan nilai-nilai
agama akan menjadikan tujuan kesejahteraan kehidupan yang meningkatkan jiwa dan
rohani manusia menuju kepada
Tuhannya.
Adapun di dalam Islam mengenal yang namanya zakat, zakat
memiliki dua fungsi baik untuk yang menunaikan zakat maupun yang menerimanya.
Dengan zakat ini kita dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat higga mencapai
derajat yang disebut masyarakat madani. Selain zakat, ada pula yang namanya
wakaf. Wakaf selain untuk beribadah kepada Allah juga dapat berfungsi sebagai
pengikat jalinan antara seorang muslim dengan muslim lainnya. Jadi wakaf
mempunyai dua fungsi yakni fungsi ibadah dan fungsi sosial.
Maka
diharapkan kepada kita semua baik yang tua maupun yang muda agar dapat
mewujudkan masyarakat madani di negeri kita yang tercinta ini yaitu Indonesia.
Yakni melalui peningkatan kualiatas sumber daya manusia, potensi, perbaikan
sistem ekonomi, serta menerapkan budaya zakat, infak, dan sedekah. Insya Allah
dengan menjalankan syariat Islam dengan baik dan teratur kita dapat memperbaiki
kehidupan bangsa ini secara perlahan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standar
Nasional.2006.Standar Kompetensi Dasar
Pendidikan Kewarganegaraan SMA/SMK/MA.Jakarta:Depdiknas-BSNP
Abdullah, Taufik. 1988. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Edisi ke-4.
Jakarta:LP3ES
Tasmara, Toto. 2002. Membudayakan
Etos Kerja Islami. Jakarta : Gema Insani
Tim Musyawarah Guru Bina PAI Madrasah Aliyah. 2010. Al-Hikmah. Sragen: Akik Pustaka.
Rosyada Dede, dkk, Demokrasi, hak
asasi manusia masyarakat madani, Edisi Revisi, 2003, Cetakan pertama, 2000,
jl. Kedondong I, No. 26 Rawamangun, Jakarta Timur: (ICCE UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2003).
Ahmad, Muhammad Al-‘Assal dan Fathi Ahmad
Abdul Karim.1980. Sistem Ekonomi
Islam,Prinsip-prinsip dan Tujuan-tujuannya, Surabaya : PT. Bina Ilmu
http://fixguy.wordpress.com/makalah-masyarakat-madani/
[3] http://fixguy.wordpress.com/makalah-masyarakat-madani/
[4] Rosyada
Dede, dkk, Demokrasi, hak asasi manusia
masyarakat madani, Edisi Revisi, 2003, Cetakan pertama, 2000, jl. Kedondong
I, No. 26 Rawamangun, Jakarta Timur: (ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2003).
[6] Rosyada
Dede, dkk, Demokrasi, hak sasi manusia
masyarakat madani, Edisi Revisi, 2003, Cetakan pertama, 2000 , Jl.
Kedondong I, No. 26 Rawamangun, Jakarta Timur: (ICCE UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2003).
[9] Dr. Ahmad Muhammad Al-‘Assal dan
Dr. Fathi Ahmad Abdul Karim,Sistem Ekonomi Islam,Prinsip-prinsip dan
Tujuan-tujuannya,PT. Bina Ilmu,Surabaya,1980,hlm.11
[15] Taufik Abdullah. “Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi” Edisi ke-4.
(Jakarta:LP3ES 1988), hal. 3
[20] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh
Islam (Hukum Fiqh Lengkap), edisi cetakan ke 40, 2007, bandung, jawa barat
(sinar baru aglesindo, 1994) hal . 193-194
[23] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh
Islam (Hukum Fiqh Lengkap), edisi cetakan ke 40, 2007, bandung, jawa barat
(sinar baru aglesindo, 1994) hal . 193-194