FILARIASIS
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Epidemiologi Penyakit Menular
Disusun oleh
Kelas B Kelompok 6:
1.
Rera Febriana (122110101102)
2.
Della
Rahmayasari A. (122110101169)
3.
Moh. Riyan
Basofi (122110101172)
4.
Ayu Mega
Gupita (122110101181)
5.
Hilmia
Hidayati (122110101191)
6.
Defi Astriaken
(122110101194)
7.
Aprillia Wulan
S. (122110101198)
8.
Handika
Maulana (122110101201)
9.
Amalia Rofita (122110101205)
10. Hilmi Muhyidin A. (122110101207)
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS JEMBER
2014
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur
kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nya, kami dapat menyusun makalah yang berjudul “Filariasis”
ini dengan baik.
Makalah ini dapat terselesaikan dengan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
kami mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami
menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah ini.
Oleh Karena itu,
kami mengharapkan pembaca untuk memberikan
saran serta kritik yang
dapat membangun untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Filariasis
atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah merupakan penyakit
menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh
berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini dapat menimbulkan cacat seumur hidup berupa
pembesaran tangan, kaki, payudara, dan buah zakar. Cacing filaria hidup di
saluran dan kelenjar getah bening. Infeksi cacing filaria dapat menyebabkan gejala
klinis akut dan atau kronik.
Filariasis merupakan jenis penyakit reemerging desease,
yaitu penyakit yang dulunya sempat ada, kemudian tidak ada dan sekarang muncul
kembali. Kasus penderita filariasis khas ditemukan di wilayah dengan iklim sub
tropis dan tropis (Abercrombie et al, 1997) seperti di Indonesia. Filariasis
pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1877, setelah itu tidak muncul
dan sekarang muncul kembali. Filariasis tersebar luas hampir di seluruh
Propinsi di Indonesia. Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000
yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231
Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus kronis
6233 orang.
Filariasis
merupakan kelompok penyakit pada manusia maupun hewan yang disebabkan oleh
infeksi parasit Nematoda, ordo filaridae yang biasa disebut filariae. Penyakit
ini baru menimbulkan gejala setelah terpapar selama beberapa tahun.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar
belakang di atas, dapat ditarik suatu rumusan masalah antara lain sebagai
berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan filariasis?
2. Bagaimana etiologi filaris?
3. Bagaimana tanda, gejala, dan cara penularan filariasis?
4. Bagaimana upaya pencegahan dan pengobatan filariasis?
5.
Bagaimana konsep penyebab penyakit & elemen
penyakit menular dari filariasis?
6.
Bagaimana tingkat pencegahan filariasis?
7.
Apa program-program pemerintah yang ditawarkan
guna mencegah maupun mengurangi filariasis?
1.3 Tujuan
1.
Untuk
mengetahui yang dimaksud dengan filariasis.
2.
Untuk
mengetahui etiologi filariasis.
3.
Untuk
mengetahui tanda, gejala, dan cara penularan filariasi.
4.
Untuk
mengetahui upaya pencegahan dan pengobatan filariasis.
5.
Untuk
mengetahui konsep penyebab dan elemen penyakit menular dari filariasis.
6.
Untuk
mengetahui tingkat pencegahan filariasis.
7.
Untuk
mengetahui program-program pemerintah yang ditawarkan guna mencegah maupun
mengurangi filariasis.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Filariasis
Filariasis adalah penyakit infeksi kronis menahun yang disebabkan
oleh infeksi nematoda dari famili filariodeae, dimana cacing dewasanya
hidup dalam kelenjar dan saluran limfe. Cacing dewasa betina mengeluarkan
mikrofilaria yang dapat ditemukan dalam darah, cairan hidrokel dan ditularkan
oleh berbagai jenis nyamuk.(Depkes RI,
2005).
Filariasis
atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah merupakan penyakit
menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh
berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini dapat menimbulkan cacat seumur hidup berupa
pembesaran tangan, kaki, payudara, dan buah zakar. Cacing filaria hidup di
saluran dan kelenjar getah bening. Infeksi cacing filaria dapat menyebabkan
gejala klinis akut dan atau kronik.
2.2 Etiologi Filariasis
Filariasis
disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang hidup di saluran dan kelenjar getah
bening. Anak cacing yang disebut mikrofilaria, hidup dalam darah. Mikrofilaria
ditemukandalam darah tepi pada malam hari. Filariasis di Indonesia disebabkan
oleh tiga spesies cacing filarial yaitu:
1.
Wuchereria
bancrofti
2.
Brugia
malayi
3.
Brugia
timori
(Gandahusada, 1998).
Menurut
lokasi kelainan yang ditimbulkan, terdapat dua golongan filariasis, yaitu
yangmenimbulkan kelainan pada saluran
limfe (filariasis limfatik) dan jaringan
subkutis(filariasis subkutan).Penyebab
utama filariasis limfatik adalah Wuchereria
bancrofti, Brugiamalayi
dan Brugia timori sedangkan filariasis subkutan
disebabkan oleh Onchorcerciaspp. Filariasis
limfatik yang disebabkan oleh W.bancrofti disebut juga sebagai Bancroftian
filariasis dan yang disebabkan oleh Brugia malayi disebut sebagai Malayan
filariasis. Filariasis limfatik ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles spp.,
Culex spp., Aedes spp. dan Mansonia spp.
2.3 Tanda dan Gejala Filariasis
Ø
Gejala dan tanda klinis akut :
a.
Demam berulang ulang selama 3-5 hari,
demam dapat hilang bila istirahat dan timbul lagi setelah bekerja berat.
b.
Pembengkakan kelenjar getah bening
(tanpa ada luka) di daerah lipatan paha, ketiak (limfadenitis) yang tampak
kemerahan, panas dan sakit.
c.
Radang saluran kelenjar getah bening
yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal ke arah ujung kaki atau
lengan.
d.
Abses filaria terjadi akibat seringnya
pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan dapat mengeluarkan darah
serta nanah
e.
Pembesaran tungkai, lengan, buah dada
dan alat kelamin perempuan dan laki-laki yang tampak kemerahan dan terasa panas
Ø Gejala
dan tanda klinis kronis :
Gejala klinis kronis
terdiri dari limfedama, lymp scrotum, kiluria, hidrokel
a. Limfedema
Pada infeksi
W.bancrofti terjadi pembengkakan seluruh kaki, seluruh lengan, skrotum, penis, vulva vagina dan
payudara, sedangkan pada infeksi Brugia terjadi pembengkakan
kaki dibawah lutut, lengan dibawah siku dimana siku dan lutut masih normal.
b. Lymph
Scrotum
Adalah pelebaran
saluran limfe superfisial pada kulit scrotum, kadang-kadang pada kulit penis, sehingga saluran limfe
tersebut mudah pecah dan cairan limfe mengalir
keluar dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dankecil
pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian. Ini mempunyai resiko tinggi terjadinya infeksi ulang oleh
bakteri dan jamur, serangan akut berulang dan dapat
berkembang menjadi limfeda skrotum. Ukuran skrotum
kadang-kadang normal kadang-kadang
sangat besar
c. Kiluria
Adalah kebocoran atau
pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal (pelvis renal) oleh cacing filaria
dewasa spesies W.bacrofti sehingga cairan limfe dan darah masuk ke dalam saluran kemih.
Gejala yang timbul adalah sebagai berikut:
·
Air kencing seperti susu karena air
kencing banyak mengandung lemak,
dan kadang-kadang di sertai (haematuria).
·
Sukar kencing
·
Kelelahan tubuh
·
Kehilangan berat badan
d. Hydrocele
Adalah pelebaran
kantung buah zakar karena tertumpuknya cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis. Hydrocele
dapat terjadi pada satu atau dua kantung buah zakar
dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut:
·
Ukuran skrotum kadang-kadang normal
tetapi kadang-kadang sangat besar
sekali, sehingga penis tertarik dan tersembunyi.
·
Kulit pada skrotum normal, lunak dan
halus
·
Kadang-kadang akumulasi cairan limfe di
sertai dengan komplikasi yaitu
komplikasi dengan Chyle (Chylocele), darah (Haematocele) atau nanah (Pyocele). Uji transiluminasi
dapat di gunakan untukmembedakan hidrokel dengan komplikasi dan hidrokel tanpa
komplikasi. Uji transiluminasi ini dapat di kerjakan oleh dokter puskesmas yang
telah di latih.
·
Hydrocele banyak ditemukan di daerah
endemis W.bancrofti dan di gunakan
sebagai indikator adanya infeksi W.bancrofti. (DinKes Sumut, 2010).
2.4 Cara Penularan Filariasis
Di
daerah perkotaan, parasit ini ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasatus. Di
perdesaan vektornya berupa nyamuk Anopheles atau nyamuk Aedes. Parasit ini
tidak ditularkan oleh nyamuk Mansonia. Daur hidup parasit ini memerlukan waktu
yang panjang. Masa pertumbuhan parasit di dalam nyamuk kurang lebih 2 minggu.
Pada manusia, masa pertumbuhan belum diketahui secara pasti tetapi diduga
kurang lebih 7 bulan, sama dengan masa pertumbuhan parasit ini di dalam
Presbytis cristata (lutung). Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan
yang mengandung mikrofilaria, mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung
nyamuk dan melepaskan selubungnya
kemudian menembus dinding lambung nyamuk bergerak menuju otot atau jaringan
lemak di bagian dada. Mikrofilaria akan mengalami perubahan bentuk menjadi
larva stadium I (L1), bentuknya seperti sosis berukuran 125-250µm x 10-17µm
dengan ekor runcing seperti cambuk setelah 3 hari. Larva tumbuh menjadi larva
stadium II (L2) disebut larva preinfektif yang berukuran 200-300µm x 15-30µm
dengan ekor tumpul atau memendek setelah 6 hari. Pada stadium II larva
menunjukkan adanya gerakan. Kemudian larva tumbuh menjadi larva stadium III
(L3) yang berukuran 1400µm x 20µm. Larva stadium L3 tampak panjang dan ramping
disertai dengan gerakan yang aktif setelah 8-10 hari pada spesies Brugia dan
10-14 hari pada spesies Wuchereria. Bentuk ini bermigrasi, mula-mula ke rongga
abdomen kemudiam ke kepala dan alat tusuk nyamuk. Bila nyamuk sedang aktif
mencari darah akan terbang berkeliling sampai adanya rangsangan hospes yang
cocok diterima oleh alat penerima rangsangannya. Rangsangan ini akan memberi
petunjuk pada nyamuk untuk mengetahui dimana adanya hospes , kemudian baru
menggigit (Depkes RI, 2001).
Larva stadium
III (L3) disebut sebagai larva infektif. Apabila seseorang mendapat gigitan
nyamuk infektif maka orang tersebut berisiko tertular filariasis. Pada saat
nyamuk infektif menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar dari probosisnya
dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk kemudian menuju sistem
limfe. Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa
dalam kurun waktu 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan waktu
lebih 9 bulan (Depkes RI, 2005).
2.5 Pengobatan Filariasis
1.
Perawatan umum :
·
Istirahat di tempat tidur, pindah tempat ke daerah
dingin akan mengurangi derajat serangan akut.
·
Antibiotik dapat diberikan untuk infeksi sekunder dan
abses
·
Pengikatan di daerah pembendungan akan mengurangi
edema
2.
Pengobatan Spesifik
Pengobatan
filariasis harus dilakukan secara masal dan pada daerah endemis dengan
menggunakan obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC). DEC dapat membunuh
mikrofilaria dan cacing dewasa pada pengobatan jangka panjang. Hingga saat ini,
DEC adalah satu-satunya obat yang efektif, aman, dan relatif murah. Untuk
filariasis akibat Wuchereria bankrofti, dosis yang dianjurkan 6 mg/kg berat
badan/hari selama 12 hari. Sedangkan untuk filariasis akibat Brugia malayi dan
Brugia timori, dosis yang dianjurkan 5 mg/kg berat badan/hari selama 10 hari.
Efek samping dari DEC ini adalah demam, menggigil, sakit kepala, mual hingga muntah.
Pada pengobatan filariasis yang disebabkan oleh Brugia malayi dan Brugia
timori, efek samping yang ditimbulkan lebih berat. Sehingga, untuk
pengobatannya dianjurkan dalam dosis rendah, tetapi pengobatan dilakukan dalam
waktu yang lebih lama. DEC dapat berguna untuk terapi limfangitis akut. DEC dapat diberikan pada mikrofilaremik yang asimptomatik
untuk mengurangi jumlah parasit di dalam darah. Obat ini juga dapat membunuh
cacing dewasa. Dosis pemberian Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) ditingkatkan secara bertahap.
Anak-anak :
·
1 mg/KgBB P.O. dosis tunggal untuk hari I
·
1 mg/KgBB P.O. 3x/hari pada hari II
·
1-2 mg/KgBB P.O. 3x/hari pada hari III
·
6 mg/KgBB P.O. 3x/hari pada hari IV-XIV
Dewasa :
·
50 mg P.O. dosis tunggal hari I
·
50 mg P.O. 3x/hari pada hari II
·
100mg P.O. 3x/hari pada hari III
·
6 mg/KgBB P.O. 3x/hari pada hari IV-XIV
Pada penderita yang tidak
ditemukan mikrofilaria di dalam darah diberikan dosis 6 mg/KgBB 3x/hari
langsung pada hari I. Wuchereria bancrofti lebih sensitif daripada Brugia
malayi pada pemberian terapi dietilkarbamazin.
Obat lain yang juga aktif
terhadap mikrofilaria adalah ivermectin ( Mectizan ) dan albendazol. Ivermectin
hanya membunuh mikrofilaria, tetapi dapat di berikan dengan dosis tunggal 400 mg / kgBB. Bila ivermectin dosis tunggal digabung
dengan DEC, menyebabkan hilangnya mikrofilaria lebih cepat. Akhir – akhir ini
diketahui bahwa albendazol 400 mg dosis tunggal lebih efektif daripada
ivermectin.
Dapat juga diberikan
Furapyrimidone yang mempunyai efek yang sama dengan DEC dalam hal
mikrofilarisidal. Dosis yang dianjurkan untuk Brugia malayi adlah 15-20
mg/kgBB/hari selama 6 hari. Sedangkan untuk Wuchereria banrofti 20
mg/kgBB/hari selama 7 hari. Efek samping ringan hanya berupa iritasi
gastrointestinal dan panas.
3.
Pengobatan Pembedahan
Pembedahan untuk melenyapkan
elephantiasis skrotum, vulva dan mammae mudah dilakukan dengan hasil yang
memuaskan. Perbaikan tungkai yang membesar dengan anastomosis antara saluran
limfe yang letaknya dalam dengan yang perifer tidak terlalu memuaskan.
2.6 Pencegahan Filariasis
Perilaku
nyamuk vector filariasis turut menentukan penyebarluasan penyakit filarial
diantaranya adalah
a. Derajat
infeksi alami hasil pembedahan nyamuk yang tinggi
b. Sifat
antropofilik dan zoofilik yang meningktakan jumlah infeksi
c. Umur
nyamuk yang panjang sehingga turut menentukan pertumbuhan larva hingga mencapai
stadium efektif untuk disebarkan
d. Dominasi
terhadap spesies nyamuk lainnya yang ditunjukan dengan kepadatan yang tinggi
disuatu daerah endemic.
e. Mudahnya
menggunakan tempat-tempat air yang digunakan sebagai tempat perindukan yang
sesuai untuk pertumbuhan nyamuk dari telur sampai menjadi dewasa.
Upaya
pencegahan penyakit filariasis dapat dilakukan dengan cara
- Memberikan penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis mengenai cara penularan dan cara pengendalian vector nyamuk.
- Mengidentifikasi vector dengan mengidentifikasi adanya larva infektif dalam nyamuk dengan menggunakan umpan manusia.
- Jika penularan terjadi oleh nyamuk yang menggigit pada malam hari di dalam rumah maka tindakan pencegahan adalah dengan penyemprotan. Menggunakan kasa, tidur dengan pestisida residual, tidur dengan menggunakan kelambu (lebih baik yang sudah dicelup dengan insektisida piretroid), memakai obat gosok anti nyamuk (repellent).
- Menimbun, mengeringkan tau mengalirkan genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk.
- Memebersihkan tempat-tenpat perindukan nyamuk seperti kakus yang terbuka, ban-ban bekas, batok kelapa dan mebunuh larva dengan larvasida
- Jika ditemukan Mansonia sebagai vector pada suatu daerah, tindakan yang dilakukan adalah dengan membersihakn kolam-kolam dari tumbuhan air yang menjadi sumber oksigen bagi larva tersebut.
- Dapat juga menggunakan tanaman yang mengusir nyamuk atau tidak disukai nyamuk karna baunya.
8. Menhindari
diri dari gigitan nyamuk yaitu dengan menutup ruangan dengan kasa, memakai
kelambu pada tempat tidur.
9. Memberantas
nyamuk serta sumber perindukan yaitu dengan membersihkan lingkungan tempat
tinggal, menutup tempat penampungan air yang digunakan sebagao sarang nyamuk,
menguras bak mandi, menggunakan obat nyamuk
10. Meningkatkan
pengetahuan masyarakat tentang bahaya yang ditimbulkan oleh nyamuk salah
satunya penyakit filariasis, sehingga masyarakat dapat ikut berpartisipasi
dalam pemberantasan penyakit filarisis.
Menurut Depkes RI (2005),
tindakan pencegahan dan pemberantasan filariasis yang dapat dilakukan adalah:
1. Melaporkan
ke Puskesmas bial menemukan warga desa dengan pembesaran kaki. Tangan, kantong
buah zakar, atau payudara.
2. Ikut
serta dalam pemeriksaan darah jari yang dilakukan pada malam hari oleh petugas
kesehatan.
3. Minum
obat anti filariasis yang diberikan oleh petugas kesehatan.
4. Menjaga
kebersihan rumah dan lingkungan agar bebas dari nyamuk penular.
5. Menjaga
diri dari gigitan nyamuk misalnya menggunakan kelambu pada saat tidur.
BAB 3. PEMBAHASAN
3.1 Konsep Penyebab Penyakit Dan Elemen Penyakit Menular
3.1.1
Agen
Penyebab Filariasis menurut Ditjen
PPM&PL (2002) adalah parasit nematoda jaringan. Ada tiga jenis nematoda
jaringan yang ditemukan di Indonesia sebagai penyebab Filariasis yaitu Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori.
1.
Wuchereria
Bancrofti
Wuchereria bancrofti merupakan parasit manusia yang menyebabkan filariasis bancrofti
yang tergolong ke dalam filariasis limfatik, bersamaan dengan penyakit yang
disebabkan oleh Brugia malayi dan Brugia timori. Parasit ini
tersebar luas di daerah yang beriklim tropis di seluruh dunia. Cacing dewasa
jantan dan betina hidup di saluran dan kelenjar limfe, bentuknya halus
seperti benang dan berwarna putih susu, cacing betina berukuran 65-100 mm x
0.25 mm serta mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung dengan ukuran 250-300
mikron x 7-8 mikron dan yang jantan 40 mm x 0.1 mm. Mikrofilaria ini
hidup di dalam darah dan terdapat di aliran darah tepi pada waktu-waktu
tertentu saja. Jadi mempunyai periodisitas. Pada umumnya mikrofilaria W.
bancrofti bersifat periodisitas nokturna, artinya mikrofilaria hanya terdapat
di dalam darah tepi pada waktu malam hari. Pada siang hari mikrofilaria
terdapat di kapiler alat dalam (Paru-paru, Jantung, Ginjal) Di daerah perkotaan
parasit ini ditularkan oleh nyamuk Culex quinguefasciatus, di pedesaan
vektor penularannya berupa nyamuk Anopheles atau nyamuk Aedes.
2.
Brugia
malayi
B. malayi dapat dibagi dalam dua varian yaitu yang hidup pada manusia dan yang
hidup manusia dan hewan misalnya kucing, kera. Penyakit yang disebabkan oleh B.
malayi disebut dengan Filariasis malayi. B. malayi hanya terdapat di
Asia, dari India sampai ke Jepang. Cacing dewasa jantan dan betina hidup di
saluran dan pembuluh limfe,
bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina berukuran
55 mmx 0,16 mm dan mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung ukuran mikrofilaria
B. malayi adalah 200-260 mikron x 8
mikron dan yang jantan berukuran 22-23 mm x 0,09 mm. Perioditasi mikrofilaria B.
malayi adalah periodik nokturna, sub periodik nokturna, atau nan periodik
mikrofilaria terdapat dalam darah tepi
siang dan malam, tetapi jumlahnya lebih banyak pada waktu malam hari. Parasit
ini hidup pada manusia ditularkan oleh nyamuk Anopheles barbirostris dan
yang hidup pada hewan ditularkan nyamuk Mansonia.
3.
Brugia
timori
B. timori hanya terdapat pada manusia. Penyakit yang disebabkan oleh B. timori
disebut Filariasis timori. B. timori hanya terdapat di Indonesia Timur
di pulau Timor, Flores, Rote, Alor dan beberapa pulau kecil di Nusa Tengara
Timur. Cacing dewasa betina dan jantan hidup di saluran dan pembuluh limfe. Bentuknya halus seperti benang dan berwarna
putih susu, cacing betina berukuran 21-39 mm x 0,1 mm dan yang jantan 13-23 mm
x 0,08 mm, cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung dan ukuran
mikrofilaria Brugia timori adalah 280-310 mikron x 7 mikron. Perioditas
mikrofilaria Brugia timori adalah periodik nokturna. B. timori yang hidup pada manusia
ditularkan oleh nyamuk Anopheles barbirotis.
3.1.2 Host
1. Manusia
a. Umur
Filariasis menyerang pada
semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis
apabila mendapat tusukan atau gigitan nyamuk infektif (mengandung larva stadium
3 atau L-3) ribuan kali. (DepKes RI, 2006)
b.
Jenis Kelamin
Semua jenis kelamin dapat
terinfeksi mikrofilaria pada laki-laki lebih tinggi daripada insiden filariasis
pada perempuan karena umumnya laki-laki lebih sering kontak dengan vektor
karena pekerjaan. (DepKes RI, 2006)
c. Imunitas
Orang yang pernah terinfeksi
filariasis sebelumnya tidak terbentuk imunitas dalam tubuhnya terhadap filaria
demikian juga yang tinggal di daerah endemis biasanya tidak mempunyai imunitas
alami terhadap penyakit filariasis. Pada daerah endemis filariasis tidak semua
orang terinfeksi dan orang yang terinfeksi menunjukan gejala klinis. Seseorang
yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya
terjadi perubahan-perubahan patologis dalam tubuh. (DepKes, 2006)
d. Ras
Penduduk pendatang pada
suatu daerah endemis filariasis mempunyai resiko terinfeksi filariasis lebih
besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke
daerah endemis, misalnya transmigran walaupun pada pemeriksaan darah jari belum
atau sedikit mengandung mikrofilaria, akan tetapi sudah menunjukkan gejala
klinis yang berat. (DepKes, 2006)
2. Nyamuk
Nyamuk termasuk serangga
yang melangsungkan siklus kehidupan di air, kelangsungan hidup nyamuk akan
terputus apabila tidak ada air. Nyamuk dewasa
sekali bertelur sebanyak ± 100-300 butir, besar telur sekitar 0,5 mm,
setelah 1-2 hari menetas menjadi jentik, 8-10 hari menjadi kepompong (pupa),
dan 1-2 hari menjadi nyamuk dewasa. (DepKes RI, 2007)
a.
Siklus Gonotrofik
Yaitu waktu yang diperlukan
untuk matangnya telur, waktu ini juga merupakan interval menggigit nyamuk
b.
Frekuensi Menggigit manusia
Frekuensi membutuhkan atau
menghisap darah tergantung spesiesnya dan dipengaruhi oleh temperatur dan
kelembaban yang disebut siklus gonotrofik. Untuk iklim tropis biasanya ini
berlangsung sekitar 48-96 jam. (DepKes RI, 2007)
c.
Faktor yang penting
Umur nyamuk (longevity)
semakin panjang umur nyamuk semakin besar kemungkinannya untuk menjadi penular
atau vektor. Umur nyamuk bervariasi tergantung dari spesiesnya dan dipengaruhi
oleh lingkungan. Kemampuan nyamuk vektor untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap
darah yang mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas, nyamuk yang menghisap
mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika yang terhisap
terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang
akan ditularkan. Periodisitas mikrofilaria dan perilaku menghisap darah nyamuk
vektor berpengaruh terhadap resiko penularan. Pengetahuan kepadatan nyamuk
vektor dan umum nyamuk vektor sangat penting untuk mengetahui musim penularan
dan dapat digunakan sebagai parameter untuk menilai keberhasilan program
pemberantasan vektor. (DepKes RI, 2007)
3.1.3
Lingkungan
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis
dan mata rantai penularannya. Biasanya daerah endemis B.malayi adalah
daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air lain yang ditumbuhi
tanamanan air. Daerah endemis W.bancrofti tipe perkotaan (urban) adalah
daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan air kotor
sebagai habitat dari vektor yaitu nyamuk Cx.quiquefasciatus. Sedangkan
daerah endemis W.baccrofti tipe pedesaan (rural) secara umum kondisi
lingkungan sama dengan daerah endemis B.malayi. (DepKes, 2007)
Lingkungan dapat menjadi tempat perindukan nyamuk, dimana secara umum
lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan fisik, lingkungan biologik dan
lingkungan sosial, ekonomi dan budaya. (DepKes, 2007)
1.
Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik mencakup
antara lain keadaan iklim, keadaan geografis, struktur geologi, suhu,
kelembaban dan sebagainya. Lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan
vektor, sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumber-sumber penularan
filariasis, lingkungan fisik dapat menciptakan tempat-tempat peridukan dan beristirahatnya
nyamuk. Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa-rawa dan adanya hospes resevoir
(kera, lutung, dan kucing) berpengaruh terhadap penyebaran B, malayi sub
periodik nokturna dan non periodic
a.
Suhu Udara
Suhu berpengaruh terhadap
pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk. Suhu yang tinggi akan
meningkatkan aktivitas nyamuk dan perkembangannya bisa menjadi lebih cepat,
tetapi apabila suhu di atas 35ºC akan membatasi populasi nyamuk. Suhu optimum
bagi perkembangbiakan nyamuk yaitu antara 25º-30ºC.
b.
Kelembaban Udara
Kelembaban berpengaruh
terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk. Tingkat kelembaban
60% merupakan batas paling rendah memungkinkan hidupnya nyamuk. Kelembaban
mempengaruhi kecepatan berkembangbiakan nyamuk
c.
Curah Hujan
Curah hujan dapat menambah
tempat perkembangbiakan vektor (breeding places) atau dapat pula
menghilangkan tempat perindukan. Curah hujan 140 mm/minggu menghambat
perkembangbiakan nyamuk dan turun drastis kepadatannya. Peningkatan kelembaban
dan curah hujan berbanding lurus dengan peningkatan kepadatan nyamuk.
d.
Air
Pada kecepatan arus 0 cm/dt
pada selokan tenang dan rawa, dan 0,25 cm/dt pada perairan mengalir larva
nyamuk Anopheles masih dapat tumbuh dan berkembangbiak. Kolam atau sawah yang
tidak terurus dengan kedalaman 15-100 cm dapat menjadi tempat perindukan nyamuk
Mansonia uniformis. Daerah rawa-rawa terbuka terdapat tumbuhan Isachene
globosa dan Panicum amplixicaule sangat disenangi dan merupakan
tempat berkembangbiak nyamuk Mansonia uniformis dan Mansonia
crassipes.
e.
Sinar Matahari
Perilaku dan kebiasaan
nyamuk Mansonia uniformis untuk beristrihat umumnya di luar rumah dengan
tempat bersarang pada celah-celah batu, dekat tanah di bawah daun-daunan rumput
atau di kaleng-kaleng yang terlindung dari sinar matahari.
f.
Rumah
Kondisi fisik rumah
berkaitan sekali dengan kejadian filariasis, terutama yang berkaitan dengan
mudah tidaknya nyamuk masuk ke dalam rumah adalah jendela, ventilasi dan
langit-langit rumah (plafon). Kondisi fisik rumah yang tidak memenuhi kriteria
rumah sehat, misalnya konstruksi plafon dan dinding rumah, ventilasi, serta
kelembaban mampu memicu timbulnya kejadian filariasis.
2.
Lingkungan Biologik
Lingkungan biologik dapat
menjadi faktor pendukung terjadinya penularan filariasis, misalnya adanya
tanaman air, genangan air, rawa-rawa, dan semak-semak sebagai tempat
pertumbuhan nyamuk Mansonia spp. Tumbuhan bakau, lumut, gangang dan
berbagai tumbuhan lainnya dapat mempengaruhi kehidupan larva karena ia dapat
menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan makhluk hidup lainnya.
Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepal timah (Panchax
spp), gambusia, nila, mujair, mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah.
Selain itu adanya ternak besar seperti sapi, kerbau, dan babi dapat mengurangi
jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila ternak tersebut dikandangkan tidak
jauh dari rumah, hal ini tergantung pada kesukaan menggigit nyamuknya. (DepKes
RI, 2006) Akhirnya untuk memberantas dan memutuskan penularan penyakit
filariasis ini selain melakukan pengobatan pada penderita juga perlu dilakukan
pemberantasan vektor penyakit, caranya bisa dengan menggunakan herbisida yang
mematikan tumbuhan inangnya atau bisa juga secara mekanis melakukan pembersihan
perairan dari tumbuhan air yang dijadikan inang oleh nyamuk Mansonia sp. (DepKes
RI, 2006)
3.
Lingkungan Sosial, Ekonomi,
dan Budaya
Lingkungan sosial, ekonomi,
dan budaya adalah lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antara
manusia, termasuk perilaku, adat istiadat, budaya, kebiasaan dan tradisi
penduduk. Kebiasaan bekerja di kebun pada malam hari atau kebiasaan keluar pada
malam hari, atau kebiasaan tidur perlu diperhatikan karena berkaitan dengan
intesitas kontak dengan vektor (bila vektor menggigit pada malam hari). Insiden
filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada insiden pada perempuan karena
umumnya laki-laki sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya.
3.1.4
Sumber penularan
Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu:
1.
Adanya sumber penularan,
yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam
darahnya.
Pada dasarnya setiap orang
dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk infektif (mengandung
larva stadium 3). Nyamuk infektif mendapat mikrofilaria dari pengidap, baik pengidap
dengan gejala klinis maupun pengidap yang tidak menunjukkan gejala klinis. Beberapa
jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan
reservoir). Dari semua spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di
Indonesia, hanya B. malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik
yang ditemukan pada lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca
fascicularis) dan kucing (Felis catus) (Depkes RI, 2009a)
2.
Adanya vektor, yakni nyamuk
yang dapat menularkan filariasis
Di Indonesia hingga saat ini
telah teridentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus, yaitu: Mansonia,
Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi vektor
filariasis.
3.
Manusia yang rentan terhadap
filariasis
Seseorang dapat tertular
filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif, yaitu
nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3 = L3). Pada saat nyamuk
infektif menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar dari probosis dan tinggal
di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk. Pada saat nyamuk menarik probosisnya,
larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke
sistem limfe. Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan
menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu kurang lebih 3.5 bulan, sedangkan Wuchereria
bancrofti memerlukan waktu kurang lebih 9 bulan. Cacing dewasa mampu
bertahan hidup selama 5-7 tahun di dalam kelenjar getah bening.
Kepadatan vektor, suhu dan
kelembaban sangat berpengaruh terhadap penularan filariasis. Suhu dan
kelembaban berpengaruh terhadap umur nyamuk, sehingga mikrofilaria yang telah
ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktunya untuk tumbuh menjadi larva infektif
L3 (masa inkubasi ekstrinsik dari parasit). Masa inkubasi ekstrinsik untuk Wuchereria
bancrofti antara 10-14 hari, sedangkan Brugia malayi dan Brugia
timori antara 8-10 hari. Di samping
faktor-faktor tersebut, mobilitas penduduk dari daerah endemis filariasis ke
daerah lain atau sebaliknya, berpotensi menjadi media terjadinya penyebaran
filariasis antar daerah (Depkes RI, 2009a).
3.2 Tingkat Pencegahan Filariasis
1. Pencegahan
Primordial Filariasis
Pencegahan primordial pada penyakit filariasis ini
yaitu berupa kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mencegah penyakit
filariasis. Kebijakan tersebut ditetapkan dalam program pemberantasan
filariasis yang dinamakan dengan program eliminasi filariasis.
2. Pencegahan
Primer Filariasis
a. Health
promotion
Upaya pencegahan ini
yaitu dapat berupa memberikan penyuluhan tentang Filariasis baik melalui kader
atau petugas kesehatan, sosialisasi tentang manfaat dan tujuan minum obat
massal untuk mencegah Filariasis, pemeriksaan darah jari setiap tahun sebelum
dilaksanakan minum obat massal, dan menciptakan rumah yang sehat (contoh: tidak
menggantungkan pakaian yang telah dipakai yang dapat menyebabkan menjadi tempat
sarang nyamuk dan membersihakan semak-semak disekitar rumah).
b. Specific
Protection
Upaya pencegahan khusus
pada filariasis ini yaitu menggunakan kelambu saat tidur, menggunakan obat anti
nyamuk, dan menaburkan bubuk abate pada tempat penampungan air yang sulit
terkuras.
3. Pencegahan
Sekunder
a. Early
diagnosis
Usaha ini yaitu
mencegah penyebaran penyakit agar penyakit filariasis tersebut tidak menular.
Usaha pencegahan tersebut yaitu pemeriksaan mikroskopis darah.
b. Promt
Treatment
Usaha pencegahan ini
yaitu pengobatan yang cepat dan tepat terhadap penyakit filariasis. Contoh
usaha pencegahan tersebut yaitu pemberian obat DEC untuk penderita yang baru
terjangkit.
4. Pencegahan
Tersier
a. Disability
Limitation
Usaha pencegahan ini
bertujuan untuk membatasi kecacatan bagi penderita filariasis. Usaha pencegahan
tersebut antara lain yaitu minum obat dengan teratur disertai perawatan bagi bagian
tubuh yang bengkak.
b. Rehabilitation
Usaha rehabilitasi ini tujuannya adalah untuk
mengembalikan individu tersebut sehingga dapat hidup berguna di masyarakat
dengan keadaan terbatas. Usaha yang dapat dilakukan adalah menyediakan
sarana-sarana untuk pelatihan dan pendidikan di rumah sakit dan di
tempat-tempat umum agar bagian tubuh yang bengkak dapat kembali normal.
3.3 Program-Program Pemerintah yang Ditawarkan
Program
Eliminasi Filariasis merupakan salah satu program prioritas nasional pemberantasan penyakit menular
sesuai dengan Peraturan
Presiden Republik Indonesia
nomor 7 tahun
2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004 –
2009.
Tujuan umum dari program eliminasi
filariasis adalah filariasis tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada
tahun 2020. Sedangkan
tujuan khusus program
adalah (a) menurunnya angka
mikrofilaria (microfilaria rate)
menjadi kurang dari
1% di setiap Kabupaten/Kota, (b) mencegah dan
membatasi kecacatan karena filariasis.
Program
Eliminasi Filariasis 2010-2014
Program akselerasi
eliminasi filariasis diupayakan
sampai dengan tahun
2020, dilakukan dengan bertahap
lima tahunan yang
dimulai tahun 2010-2014. Program eliminasi filariasis direncanakan
sampai dengan 2014 atas dasar justifikasi:
1) Di
daerah endemis dengan angka lebih besar dari 1%, dapat dicegah penularannya
dengan program Pemberian Obat Massal Pencegahan filariasis (POMP filariasis)
setahun sekali, selama minimal lima tahun berturut-turut.
2) Penyebaran
kasus dengan manifestasi kronis filariasis di 401 kabupaten/kota dapat dicegah
dan dibatasi dampak kecacatannnya dengan penatalaksanaan kasus klinis;
3) Minimal 85%
dari penduduk berisiko
tertular filariasis di daerah
yang teridentifikasi endemis
filariasis harus mendapat POMP filariasis.
Tujuan Program
akselerasi eliminasi filariasis
adalah pada tahun
2014 semua kabupaten/kota
endemis wilayah Indonesia
Timur telah melakukan
POMP filariasis. Prioritas
di Indonesia bagian timur
dikarenakan pertimbangan tingginya
prevalensi microfilaria yang
tinggi (39%). Kabupaten
/kota endemis daerah
Indonesia barat dan
tengah juga diharapkan
akan melaksanakan POMP filariasis secara bertahap.
Strategi program
eliminasi filariasis selama
lima tahun (2010-2014)
terdiri dari lima
strategi yaitu:
a. Memantapkan
perencanaan dan persiapan pelaksanaan termasuk sosialisasi pada masyarakat
b. Memastikan
ketersediaan obat dan distribusinya serta dana operasional
c. Meningkatkan
peran Kepala Daerah dan para pemangku kepentingan lainnya
d. Memantapkan pelaksanaan POMP filariasis yang didukung
oleh sistem pengawasan
dan pelaksanaan pengobatan dan pengamanan kejadian ikutan pasca
pengobatan
e. Meningkatkan
monitoring dan evaluasi.
Rencana
Kegiatan 2010-2014
Ada dua program
pokok kegiatan yaitu:
1) Program
akselerasi eliminiasi filariasis, ketersediaan dan distribusi
obat;
2) Program
penguatan manejemen.
Kegiatan pertama
mencakup: mempertahankan dan meningkatkan
cakupan pelaksanaan POMP filariasis untuk seluruh
penduduk di daerah endemis secara bertahap dengan target utama tahun
2014 adalah semua pulau di wilayah
Indonesia Timur telah melaksanakannya, meningkatkan
pelaksanaan kasus klinis filariasis
dan pasca pengobatan,
mengintegrasikan dengan program
terkait lain, serta menjamin ketersediaan
dan distribusi obat
filariasis. Kegiatan pokok
kedua antara lain mencakup: penguatan program dan sistem
kesehatan dan sumber daya manusia, peningkatan pencatatan dan
pelaporan yang tepat
waktu, meningkatkan monitoring
dan evaluasi, meningkatkan komitmen
dan dukungan pendanaan
dan program melalui
advokasi, dan sosialisasi dan
mobilisasi, meningkatkan kesadaran
masyarakat melalui penyuluhan-penyuluhan, meningkatkan
surveilans.
BAB 4. KESIMPULAN
Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah
merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria
dari famili filariodeae, dimana cacing dewasanya hidup dalam kelenjar dan
saluran limfe dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini dapat
menimbulkan cacat seumur hidup berupa pembesaran tangan, kaki, payudara, dan
buah zakar.
Menurut
lokasi kelainan yang ditimbulkan, terdapat dua golongan filariasis, yaitu
yangmenimbulkan kelainan pada saluran limfe
(filariasis limfatik) dan jaringan subkutis(filariasis
subkutan).Penyebab
utama filariasis limfatik adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori sedangkan filariasis subkutan
disebabkan oleh Onchorcerciaspp. Filariasis
limfatik ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles
sp., Culex sp., Aedes sp. dan
Mansonia sp.
Gejala dan tanda klinis akut pada
penyakit filariasis yaitu demam berulang, pembengkakan kelenjar getah bening ,
radang saluran kelenjar getah bening, abses filaria, pembesaran tungkai, lengan, buah dada dan
alat kelamin perempuan dan laki-laki, sedangkan gejala dan tanda klinis kronis yaitu limfedama, lymph scrotum, kiluria, hydrocele.
Pengobatan
penyakit filariasis terdapat dua macam yaitu dengan cara pengobatan spesifik
menggunakan obat Diethyl Carbamazine
Citrate (DEC) Ivermectin
( Mectizan ), Albendazol, Furapyrimidone yang harus dilakukan secara masal pada daerah endemis dan pengobatan
pembedahan untuk melenyapkan elephantiasis skrotum, vulva, dan mamae.
Sedangkan pencegahan filariasis dilakukan melalui 4 tahap pencegahan meliputi
pencegahan primordial (program
pemberantasan filariasis yang dinamakan dengan program eliminasi filariasis), pencegahan primer (penyuluhan
tentang Filariasis baik melalui kader atau petugas kesehatan dan menggunakan kelambu
saat tidur), pencegahan sekunder (pemeriksaan
mikroskopis darah dan pemberian
obat DEC untuk penderita yang baru terjangkit), dan pencegahan tersier (minum
obat dengan teratur dan menyediakan
sarana-sarana untuk pelatihan dan pendidikan di rumah sakit dan di
tempat-tempat umum agar bagian tubuh yang bengkak dapat kembali normal).
Adapun program-program
pemerintah yang ditawarkan untuk mencegah penyakit atau menurunkan prevalensi
penyakit filariasis yaitu dengan diadakannya Program Eliminasi Filariasis
2010-2014 dan Rencana Kegiatan 2010-2014.
DAFTAR PUSTAKA
Herdiman T. Pohan. Filariasis dalam Buku
Ajar Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi III. 2004. Jakarta. Balai Penerbit FKUI.
525-529
Infeksi dan Penyakit Tropis. Edisi
Pertama. 2002. Jakarta. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 435-441
http://www.depkes.go.id (diakses tanggal 14 Maret 2014)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/38303/4/Chapter%20II.pdf
(diakses tanggal 13 Maret 2014)
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=103910&val=1378 (diakses tanggal 14 Maret 2014)
http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/buletin/BULETIN%20FILARIASIS.pdf (diakses tanggal 14 Maret 2014)
http://eprints.undip.ac.id/18335/1/N_A_S_R_I_N.pdf (diakses tanggal 13 Maret 2014)
http://www.scribd.com/doc/43610482/makalah-filariasis (diakses tanggal
13 Maret 2014)